TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tembakau alternatif dinilai memiliki potensi besar untuk membantu menurunkan prevalensi merokok secara global karena menerapkan pendekatan pengurangan bahaya tembakau.
Potensi tersebut dibahas dalam forum internasional bertajuk “Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Challenges and Prospects for WHO” yang diselenggarakan secara virtual, beberapa waktu lalu.
Koordinator Corporación Acción Técnica Social Kolombia, sebuah platform layanan pengurangan bahaya tembakau, Maria Alejandra Medina, mengatakan produk tembakau alternatif adalah suatu pendekatan inovatif bagi perokok dewasa yang ingin beralih dari kebiasaan merokok.
Berdasarkan penelitian, tembakau alternatif memiliki paparan risiko yang jauh lebih rendah secara signifikan daripada rokok serta dinilai lebih efektif daripada terapi pengganti nikotin.
Pemerintah, utamanya otoritas kesehatan nasional, perlu menimbang potensi produk tembakau alternatif sebagai upaya menekan prevalensi merokok.
Baca juga: Presiden Diminta Turun Tangan soal Polemik Antarkementerian tentang Aturan Tembakau di RPP Kesehatan
Sebagai langkah awal untuk mengurangi prevalensi merokok, Maria berharap, pemerintah lebih progresif dalam menerima kajian-kajian ilmiah mengenai tembakau alternatif ketimbang menutup diri.
“Kebijakan pengendalian tembakau dengan program berhenti merokok terbukti kurang efektif untuk diterapkan di kalangan perokok dewasa. Oleh karena itu, kita harus memberikan lebih banyak perhatian pada produk inovatif yang menerapkan pengurangan bahaya tembakau,” jelas Maria, dalam keterangan yang diterima Selasa (12/12/2023) kemarin.
Dokter dan Mantan Ketua Asosiasi Medis Dunia, Anders Milton, juga mengatakan pemanfaatan tembakau alternatif secara maksimal telah menuai keberhasilan di Swedia.
Terbukti, negara dengan tingkat merokok terendah di Uni Eropa tersebut, hampir mencapai status “bebas asap”, di mana jumlah perokok hariannya hanya tinggal sekitar 5 persen dari total jumlah penduduk.
“Pemanfaatan tembakau alternatif turut berkontribusi dalam keberhasilan penurunan angka perokok di Swedia. Saat ini, negara tersebut juga menjadi studi kasus di dunia terkait pengendalian tembakau karena dapat mengurangi angka kanker paru-paru dan penyakit lain yang berhubungan dengan konsumsi merokok,” ujar Anders yang juga panelis dalam diskusi ini.
Selain Swedia, negara seperti Inggris juga memanfaatkan tembakau alternatif untuk menekan angka prevalensi merokok di negaranya.
Pemerintah Inggris menerapkan skema swap to stop dengan membagikan perlengkapan produk tersebut secara gratis kepada satu juta perokok. Hal ini bertujuan untuk mencapai target menjadi negara bebas asap mulai tahun 2030.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum Asosiasi Vaporizer Bali (AVB), I Gde Agus Mahartika, mengatakan masyarakat, khususnya perokok dewasa, harus diberikan sosialisasi terkait profil risiko dan pemanfaatan tembakau alternatif.
Alasannya, produk ini kerap diinformasikan sama berbahayanya dengan rokok. Padahal, secara kajian ilmiah, produk ini memiliki profil risiko yang lebih rendah ketimbang rokok. Sejumlah penelitian ini sudah dilakukan baik di Indonesia maupun mancanegara.
“Tembakau alternatif memiliki profil risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok berdasarkan penelitian di dalam maupun luar negeri. Asosiasi pelaku usaha berharap pemerintah dapat mendukung penelitian lebih lanjut agar perokok dewasa dapat memanfaatkan lebih maksimal,” ungkapnya, seperti dikutip, Selasa (12/12/2023).