Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bulan Juni 2024 lalu, masyarakat dikejutkan oleh peristiwa atlet bulutangkis China, Zhang Zhi Jie, meninggal mendadak saat sedang bertanding di ajang Badminton Asia Juniar Championships 2024 di GOR Among Rogo, Yogyakarta, Minggu, 30 Juni 2024.
Hasil diagnosis dokter, Zhang Zhi Jie meninggal akibat mengalami henti jantung saat bertanding. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah DR dr M Yamin Sp JP (K), Sp.PD, FACC, FSCAI, FAPHRS dari RS Brawijaya Jakarta mengatakan, kasus meninggal tiba-tiba seperti terjadi pada atlet China tersebut biasa disebut dengan istilah sudden death.
Baca juga: Dokter asal China Duga Kematian Zhang Zhi Jie Gegara Henti Jantung, Sebut Tim Medis AJC 2024 Lalai
"Itu peristiwa sudden death yang terjadi karena ion listrik di jantung kacau. Sudden death itu terjadi sekali dan langsung," kata dokter Yamin saat ditemui di sela acara Meet with The Experts yang diselenggarakan Brawijaya Healthcare, Rabu, 31 Juli 2024.
Dr Yamin enegaskan, sebenarnya aktivitas olahraga bukan penyebab serangan jantung dan penyebab kematian mendadak, tapi hanya jadi pemicu saja.
Dia memaparkan, secara umum kita membagi penyebab berhenti jantung pada kelompok umur, yakni kelompok umur tua dan kelompok umur muda. Kejadian serangan jantung yang berisiko meninggal pada kelompok umur muda biasanya di bawah usia 40 tahun.
"Kalau serangan jantung terjadi di usia bawah 40 tahun umumnya adalah karena penyakit bawaan, listrik jantung atau disebut juga kanal ion jantung, atau kalau nggak, terjadi karena struktur organnya," terang dr Yamin.
"Yang paling sering adalah ion-ion yang mengatur kelistrikan di tubuh mengalami mutasi genetik. Akibatnya, dengan pencetus tertentu seperti aktivitas olahraga, berenang, atau karena kebisingan, ion itu bisa memicu irama jantung yang kacau dan bisa menyebabkan denyut jantung berhenti," bebernya.
Jika serangan jantung tersebut penyebabnya karena kelainan struktur jantung, itu biasanya karena otot jantung sejak kecil. "Otot jantung yang tebal berpotensi membuat kelistrikan di jantung menjadi konslet," sebutnya.
Pada atlet, biasanya karena biasa berlatih lebih keras, otot jantung yang sudah tebal menjadi lebih tebal. "Kalau pada orang normal nih, isalnya kerap melakukan olahraga yang intens, otot jantungnya menjadi tebal, tapi berbeda dengan atlet, ketebalan otot jantungnya masih dalam batas yang normal," ungkap dr Yamin.
Baca juga: Langkah Maju dalam Pertolongan Pertama Henti Jantung
Pada orang dengan usia di atas 40 tahun, biasanya kematian karena penyakit jantung koroner seperti tiba-tiba plak di jantung pecah dan terjadi sumbatan total yang berakibat jantung berhenti mendadak.
“Jadi tidak semua serangan jantung adalah henti jantung dan tidak semua henti jantung adalah serangan jantung. Jadi, serangan jantung bisa bisa bikin henti jantung, tetapi henti jantung belum tentu karena serangan jantung,” tambah Dr. dr. Muhammad Yamin.
Jika seseorang terdiagnosis memiliki penebalan jantung sejak dini bagaimana upaya mencegah terjadinya serangan jantung?
Dokter Yamin mengatakan, ada upaya pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Yang paling penting dilakukan adalah pecegahan sekunder.
"Jika orang sudah memiliki penebalan jantung dan dari hasil pemeriksaan, dokter menemukan irama-irama jantung yang berpotensi memicu serangan jantung, misalnya timbung denyutan abnormal, atau yang bersangkutan merasakan jantung berdebar hampir pingsan, itu harus segera diinvestigasi."
"Jika kejadiannya yang bersangkutan hampir pingsan, itu karena gangguan listrik, kita harus pasang alat. Nah alatnya ini namanya Implantable cardioverter-defibrillators, singkatannya ICDs," sebutnya.
"ICDs ini memiliki kemampuan mendeteksi irama yang tidak normal pada jantung. Dia juga bisa mendeteksi irama yang normal dan tidak normal."
Baca juga: Tim Medis Saudi Selamatkan Jemaah Haji Indonesia yang Mengalami Henti Jantung 8 Menit
"Jika dalam waktu tertentu irama tidak normal ini berkelanjutan dan mengancam, ICDs akan memberikan terapi ke tubuh untuk meredam potensi terjadi henti jantung," ujarnya.
Untuk tipe yang konvensional, ICDs ditanam di bawah kulit, dengan cara kulit disayat, lalu ditanam. Dia pakai baterai dan pakai kabel. Kabel dan generatornya ditanam di bawah kulit di luar jantung.
"Ini smart device, bisa mendeteksi dan mengenali gejala serangan jantung. Fungsinya mendeteksi dan memberikan terapi," kata dr Yamin.
Dia menambahan, untuk mendeteksi penyakit jantung koroner bisa dilakukan dengan CT scan koroner untuk melihat plak-plak pada jantung yang bisa menjadi bibit serangan jantung di kemudian hari.
*Orang dengan Otot Jantung Tebal Tidak Cocok Jadi Atlet*
Dokter Yamin menegaskan, orang yang memiliki otot jantung yang tebal tidak cocok menjadi atlet olahraga kompetitif. Jika hasil skrining kita mendapati itu, kita pasti akan melarang, karena dia tidak cocok jadi atlet.
"Di luar negeri, mereka yang akan menjadi atlet kompetitif ada protokolnya, diskrining, ditanya apakah ada riwayat serangan jantung di usia muda di keluarganya seperti pada saudara kandungnya. Hal itu mengarah pada kelainan jantung bawaan. Lalu apakah selama ini ada keluhan Jantung."
"Kemudian, dilakukan juga pemeriksaan fisik. Kalau kita curiga kita USG untuk melihat ke dalam seberapa tebal penyumbatan oto jantungnya, atau apakah ada sumbatan katup. Jika ternyata hasil skrining itu dia berisiko tinggi, tidak kita sarankan jadi atlet," ungkap dr Yamin.
Dia menjelaskan, di sebagian negara-negara di Asia, skrining atlet tidak dilakukan secara ketat. "Maka itu sekarang kita kembangkan sport cardilogy," kata dr Yamin.
Sementara itu, bagi orang biasa agar kinerja jantung tetap bagus, dokter Yamin merekomendasikan agar menjalani olahraga dalam seminggu minimal 150 menit. "Itu saran yang sesuai rekomendasi WHO," ujarnya.
Baca juga: Seorang Dokter Birmingham Selamatkan Pria yang Alami Henti Jantung 2 Kali di Pesawat Air India
"Jadi untuk orang yang ingin menjalani olahraga rekreasi, sebaiknya cek dulu kondisi kesehatan badannya," saran dokter Yamin.
"Olahraga malam tak masalah, tapi disarankan lebih baik jalani olahraga pagi," kata dia.
Penyakit Jantung Koroner Bisa Diterapi dengan 2 Cara
Dokter Bedah Toraks dan Kardiovaskular, dr. Sugisman, Sp.BTKV (K) di acara yang sama menerangkan, penyakit jantung koroner bisa diterapi dengan dua cara, yaitu non-surgical dan surgical. Metode non-surgical dilakukan oleh kardiologis dengan melakukan intervensi melalui pemasangan ring atau stent jantung.
“Jika ada pasien dengan penyakit jantung koroner yang sudah tidak memungkinkan untuk pemasangan ring atau stent akibat jumlah sumbatan yang banyak, maka akan diarahkan dilakukan tindakan bypass koroner yang dilakukan oleh dokter spesialis bedah jantung,” terang dr. Sugisman, Sp.BTKV (K).
Saat ini, jumlah penderita penyakit jantung sangat besar, bahkah salah satu penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi.
Prevalensi penyakit jantung koroner menjadi yang terbanyak dari semua penyakit jantung lainnya, sehingga operasi bypass koroner adalah jenis operasi bedah jantung yang paling banyak dilakukan di seluruh dunia.
dr. Sugisman menjelaskan, penyumbatan pembuluh darah bisa disebabkan oleh banyak faktor risiko. Terbanyak disebabkan oleh penyakit komorbid seperti diabetes, hipertensi, gangguan kolesterol, merokok, dan gaya hidup tidak sehat lainnya.
Dokter Subpesialisasi Bedah Jantung Dewasa ini mengungkapkan, jumlah penderita jantung koroner juga semakin muda. Berbeda dengan 10 tahun lalu, bahwa penyakit jantung koroner banyak diderita oleh kalangan orang tua di atas 50 tahun atau 60 tahun.
“Sekarang cenderung di usia 20 atau 30 tahun karena penyumbatan pembuluh darah koroner. Jadi jangan heran pada periode yang akan datang usia penderita jantung koroner akan makin muda. Mungkin karena lifestyle dan perubahan gaya hidup yang lebih senang makan junk food, fast food, dibandingkan dengan makanan-makanan sehat yang lain,” ungkapnya.
Drg Hestiningsih SE Mars, Corporate Sales Director Brawijaya Healthcare mengatakan saat ini rumah sakitnya memiliki BraveHeart Center, salah satu center yang mengkhususkan diri dalam pelayanan jantung/kardiovaskular.
BraveHeart memiliki tim dokter spesialis maupun subspesialis di bidang Jantung, termasuk ahli dalam intervensi koroner, elektrofisiologi dan terapi pacu jantung, penggantian katup jantung tanpa operasi, pencitraan jantung, bedah, dan jantung anak, yang semuanya dipimpin kardiolog senior Dr. dr. Muhammad Yamin, Sp.JP (K), Sp.PD, FACC, FSCAI, FAPHRS, FHRS sebagai Chairman of BraveHeart Center.
BraveHeart dilengkapi dengan teknologi canggih seperti Hybrid Operating Theatre. Fasilitas modern ini memungkinkan tindakan bedah dan intervensi non-bedah dilakukan secara bersamaan pada satu pasien dengan kondisi medis tertentu.
Misalnya, kasus kompleks seperti diseksi aorta dengan robekan yang parah, memerlukan tindakan simultan oleh dua spesialis yang berbeda: seorang ahli bedah jantung dan seorang ahli intervensi vaskular.
Saat ini Brawijaya Healthcare mengelola5 rumah sakit dan 2 klinik. Tiga rumah sakit berlokasi di Saharjo Tebet, Jakarta Selatan dan di Antasari, Jakarta Selatan, dan Duren Tiga. Dua RS lainnya berlokasi di Kunciran Bintaro dan di Sawangan Depok.
Sementara, 2 klinik berlokasi di Bandung yang akan dikembangkan jadi RS Ibu dan Anak serta 1 klinik di Kemang, Jakarta Selatan, yang akan dikembangkan jadi RS mental health.
"Satu rumah sakit lagi akan dibangun di sekitar TMII, Jakarta Timur, dengan layanan utama trauma center." ujarnya.