Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Sakit maag dengan serangan jantung memiliki kesamaan gejala.
Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang keliru dan menganggap serangan jantung sebagai sakit maag biasa.
Salah satu gejala yang kerap muncul dari keduanya adalah nyeri dada.
Baca juga: Peringatan Bagi Pencinta Kopi, Takaran Kafein Lebih dari Ini Bisa Memicu Serangan Jantung
Nyeri dada merupakan salah satu gejala yang kerap terjadi saat seseorang mengalami kondisi medis tertentu seperti penyakit asam lambung (GERD) ataupun penyakit jantung.
Namun jangan keliru, Dokter Spesialis Jantung & Pembuluh Darah Eka Hospital Cibubur Dr. Zakky Hazami, SpJP ungkap cara membedakan nyeri dada karena maag dengan serangan jantung.
"(Serangan jantung), gejala khas nyeri dada kiri, tembus ke belakang. Disertai mual, muntah keringat dingin dan terjadi secara tiba-tiba," ungkapnya pada media briefing di Jakarta, Rabu (26/9/2024).
Rasa nyeri di dada bisa muncul saat duduk, berdiri bahkan berbaring
Berbeda dengan sakit maag, biasanya nyeri dada muncul karena ada pemicunya.
Misalnya, bisa karena salah makan, seperti mengonsumsi makanan pedas atau terlalu asam.
Kemudian rasa sakit bisa dipengaruhi oleh posisi tidur.
Baca juga: Faisal Basri Kena Serangan Jantung Dua Hari Lalu, Sempat Dirawat di Rumah Sakit Mayapada
"Saat tidur (berbaring), asam lambung naik. Tiduran tidak enak. Berdiri atau duduk makin enak. Pada jantung tidak berpengaruh. Tidur, duduk, serba salah," imbuhnya.
Jika sudah muncul tanda serangan jantung, dr Zakky menganjurkan agar orang tersebut langsung melakukan Elektrokardiografi (EKG) di fasilitas kesehatan.
EKG merupakan pemeriksaan medis yang digunakan untuk mendeteksi dan mencatat aktivitas listrik jantung.
Ia mengimbau pada masyarakat untuk tidak meremehkan tanda serangan jantung.
Apa lagi jika sudah memiliki riwayat sakit di bagian dada. Dan setiap kali kambuh, durasinya bisa bertambah.
"Ada riwayat sakit di dada, (setiap sakit) bertambah durasinya. Frekuensi makin sering, biasanya seminggu sekali, ini (jadi) dua kali dalam seminggu. Lebih sering lagi. Itu hati-hati," imbaunya.
Karena jika dibiarkan, pasien tidak bisa mendapatkan cara penanganan yang tepat.
Sehingga pasien bisa berisiko alami kematian ketika muncul serangan jantung.