Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA -- Mungkin mendengar tumor hipofisis bagi Anda terasa asing.
Sejauh ini pemahaman terkait penyakit ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Pengetahuan tentang penyakit ini dapat membantu diagnosis lebih awal dan pengobatan yang tepat.
Berikut hal-hal yang perlu diketahui tentang tumor hipofisis.
Apa Itu Tumor Hipofisis?
Ahli bedah saraf dari RS Siloam Lippo Village Karawaci Prof. Dr. dr. Julius July, Sp.BS (K) Onk, MKes, IFAANS mengatakan, tumor hipofisis adalah pertumbuhan abnormal yang terjadi pada kelenjar hipofisis yang terletak di dasar otak.
Kelenjar ini berperan penting dalam mengatur berbagai hormon yang memengaruhi banyak fungsi tubuh, mulai dari pertumbuhan hingga metabolisme.
Tumor ini bisa bersifat jinak atau ganas, tetapi sebagian besar kasus adalah tumor jinak yang tidak menyebar ke bagian lain dari tubuh.
Baca juga: Dokter Ingatkan Pentingnya Pemeriksaan Dini Organ di Rongga Perut, Hindari Batu Ginjal hingga Tumor
Faktor Risiko
Faktor risiko perkembangan tumor hipofisis meliputi usia dan jenis kelamin.
Tumor ini lebih sering terjadi pada orang dewasa berusia antara 30 hingga 50 tahun, yang merupakan kelompok usia paling rentan.
Selain itu, wanita cenderung lebih rentan terhadap tumor hipofisis dibandingkan pria.
"Ada pengaruh hormonal yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan tumor. Memahami faktor risiko ini dapat membantu dalam deteksi dan penanganan yang lebih baik," ujar dia dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Gejala Tumor Hipofisis
Gejala yang dialami pasien dengan tumor hipofisis bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi tumor.
Salah satu gejala yang paling umum adalah gangguan penglihatan, terutama kebutaan periferal, yang terjadi akibat tekanan tumor pada saraf optik.
Sakit kepala juga merupakan keluhan yang sering disampaikan dan sering kali menjadi gejala awal yang dihadapi pasien.
Selain itu, pasien sering melaporkan perubahan hormonal yang dapat menyebabkan gejala seperti menstruasi yang tidak teratur pada wanita dan penambahan berat badan.
Proses diagnosis tumor hipofisis dimulai dengan melakukan tes darah untuk mengukur kadar hormon, lalu pencitraan otak seperti MRI atau CT scan.
Proses ini memastikan diagnosis yang akurat dan pemilihan metode penanganan yang tepat.
Dokter akan memperhatikan lokasi, ukuran, dan karakteristik tumor dalam gambar MRI atau CT scan, yang biasanya memiliki ciri khas tertentu.
Analisis jaringan juga diperlukan untuk memastikan diagnosis yang tepat.
Tatalaksana tumor hipofisis dapat dilakukan melalui pendekatan pembedahan dan non-pembedahan.
Salah satu alternatif penanganan tumor hipofisis adalah EETS (Endoscopic Endonasal Transphenoidal Surgery) yaitu pembedahan minimal invasif yang dilakukan melalui hidung dan sinus.
Dokter spesialis THT dr. Michael, Sp.THT-KL mengungkapkan, metode ini memungkinkan akses yang lebih mudah ke tumor dengan risiko yang lebih rendah dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
Prosedur ini mengurangi trauma pada jaringan sekitarnya dan sering kali memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien.
Meskipun relatif aman, risiko dan komplikasi tetap ada. Infeksi adalah salah satu risikonya.
Karena itu, penting bagi pasien untuk memahami risiko ini sebelum menjalani prosedur.
Setelah melakukan EETS, pasien akan menjalani proses pemulihan yang melibatkan pemantauan di rumah sakit.
Kolaborasi antara tim dokter multidisiplin, termasuk spesialis neurologi, endokrinologi, bedah saraf, dan THT, sangat penting dalam manajemen pasien tumor hipofisis.
"Tumor hipofisis adalah kondisi yang kompleks dengan berbagai implikasi kesehatan. Masyarakat perlu lebih mengenali tanda-tanda awal dan pentingnya melakukan pemeriksaan jika mengalami gejala yang mencurigakan. Diagnosis yang tepat dan pengobatan yang tepat waktu dapat membuat perbedaan besar dalam hasil perawatan dan kualitas hidup pasien," ujar dokter Michael.