Festival Crossborder Nunukan 2019 sukses digelar mulai hari ini, Sabtu (13/7) hingga Minggu (14/7). Ada banyak keseruan yang tersaji dan bisa dinikmati sepuasnya selama dua hari perhelatan. Namun, tak lengkap rasanya datang di event ini tanpa mengenal lebih dalam wilayah yang menjadi perbatasan antara Indonesia dan Malaysia tersebut.
Memenuhi rasa penasarannya, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Area II Adella Raung menyempatkan diri menyinggahi Pulau Sebatik. Inilah pulau yang merupakan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Secara administratif, Pulau Sebatik masuk dalam wilayah Kecamatan Sebatik. Yaitu kecamatan paling timur di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.
Kecamatan Sebatik terdiri dari empat desa, yaitu Tanjung Karang, Pancang, Sungai Nyamuk Tanjung Aru, dan Setabu. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar yang menjadi prioritas utama pembangunan, karena berbatasan langsung dengan Malaysia. Selain pariwisata, program utama yang dilakukan di Pulau Sebatik adalah pembangunan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Pulau Sebatik terbagi menjadi dua. Belahan utara seluas 187,23 km² merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia. Sedangkan belahan selatan dengan luas 246,61 km² masuk ke wilayah Indonesia di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Dari luas ini, sekitar 375, 52 hektare adalah kawasan konservasi.
“Yang paling unik dari Pulau Sebatik adalah keberadaan rumah warga yang dibangun tepat di perbatasan. Bagian ruang tamu berada di Indonesia, sementara bagian dapurnya ada di Malaysia,” ujar Adella.
Konon, bangunan yang ada sejak tahun 1977 itu adalah milik WNI bernama Mangapara. Ia tercatat sebagai penduduk Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan. Tempat tinggalnya terletak di Tugu Patok 3 perbatasan Indonesia dan Malaysia.
“Perbatasan di sini hanya ditandai dengan Tiang Bendera Merah Putih. Jumlahnya ada dua. Salah satunya bertuliskan ‘Kokohkan Merah Putih di Tapal Batas’. Tak jauh dari rumah Mangapara, dibangun pula pos TNI sebagai penjaga perbatasan,” jelasnya.
Awalnya, Mangapara hanya mendiami wilayah Indonesia. Warga Malaysia yang menjadi tetangganya kemudian berbaik hati memperbolehkan Mangapara membangun dapur di tanahnya. Jadilah, rumah di dua wilayah negara.
“Meski hanya rumah biasa, namun keunikan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Khususnya para pelancong dari luar daerah yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Nunukan atau wilayah perbatasan,” bebernya.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani mengatakan, Nunukan sendiri menjadi salah satu wilayah perbatasan yang diprioritaskan. Artinya, Kemenpar terus berupaya agar wilayah ini lebih ‘hidup’ sehingga roda perekonomian warga dapat berputar.
“Festival Crossborder Nunukan bukan sekali ini saja digelar. Sebelumnya juga sudah kita helat dan sukses menarik banyak wisatawan. Bisa saja ini menjadi agenda rutin karena berpotensi mendatangkan wisman,” ungkapnya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan, Kemenpar memang berusaha menghidupkan wilayah perbatasan, salah satunya di Nunukan. Caranya, antara lain dengan memperbanyak event dan acara yang bisa dinikmati oleh tetangga negara seperti Tawau di Malaysia.
“Kegiatan rutin seperti Festival Crossborder bisa menaikkan ekonomi di perbatasan. Rumusnya, perpindahan orang itu sama dengan perpindahan uang,” tandasnya. (*)