TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fasilitas kesehatan di desa-desa umumnya terbatas, dan tidak sedikit yang mengenaskan. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar menginginkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang akan melaksanakan muktamar dalam waktu dekat, untuk memikirkan hal ini secara serius.
Hal itu dikemukakan pria yang disapa Gus Halim Iskandar itu saat menerima kunjungan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di ruang kerjanya, Kamis (25/11/2021).
Perwakilan IDI dipimpin dr. Nasrul Musadir, didampingi dr. M. Ariz Candra, dr. Fajriman, dr. T. Nanta Aulia, dan dr. Safreadi.
Dalam pertemuan itu mengemuka semangat bahwa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan IDI satu frekuensi, yaitu menginginkan desa-desa di Indonesia sehat dan sejahtera.
Dalam pertemuan itu juga, para dokter tersebut bermaksud mengundang Gus Halim untuk menghadiri Muktamar ke-31 IDI di Provinsi Aceh pada 22-25 Maret 2022, sekaligus menjadi narasumber dalam muktamar itu dan diminta berbicara tentang peranan dokter di daerah yang memang menjadi concern Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
IDI berharap kehadiran Mendes PDTT nantinya bakal memicu keterlibatan pihak lain seperti pemerintah daerah (pemda) untuk lebih perhatian pada sektor kesehatan di Aceh. Panitia juga mengundang Gus Halim untuk menyambangi desa-desa yang terhitung sukses menangani kesehatan, termasuk persoalan stunting yang menjadi perhatian Kemendes PDTT.
"Kami ingin agar pihak lain melihat bahwa penanganan kesehatan itu bukan hanya tugas dokter dan Tenaga Kesehatan," kata dr Nasrul.
Mendes PDTT merespons positif undangan panitia muktamar IDI itu karena memang salah satu perhatian Kemendes PDTT dan termasuk SDGs Desa tujuan ketiga ialah desa sehat dan sejahtera. Pria yang akrab disapa Gus Halim ini mengatakan, persoalan kesehatan harusnya jadi perhatian bersama.
Untuk itu, ia menyarankan untuk memperluas kembali peran pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang berada pada level desa atau yang terkecil, termasuk dihadirkan ke wilayah yang belum memiliki puskesmas layak. "Sejumlah wilayah di Pulau Jawa saja ada yang belum memiliki puskesmas," kata penerima doktor honoris causa dari UNY ini.
Gus Halim berharap puskesmas menjadi pusat pelayanan kesehatan di level desa dan ia kurang sepakat dengan ide puskesmas diberi tambahan fasilitas rawat inap. Untuk penanganan kesehatan yang mendukung SDGs Desa, Gus Halim pernah menyarankan ke pos pelayanan terpadu (posyandu) yang memang selama ini aktif mengundang partisipasi warga dan didukung oleh perangkat desa.
Hal ini merujuk pada data terdapat 660.116 posyandu atau sekitar 9 pos per desa. Rinciannya, 245.718 posyandu aktif bulanan, 130.107 posyandu aktif dua bulanan dan 284.291 posyandu dengan aktivitas tidak terjadwal dengan partisipasi warga di 70.086 desa atau setara 93 persen.
Pendanaan posyandu pun bersumber dari APB Desa, Iuran warga, dan pendanaan lain seperti dari pemerintah daerah setempat, perusahaan, dan lainnya. Fungsi awal posyandu terfokus pada kesehatan ibu dan anak, persoalan gizi, imunisasi dan program keluarga berencana.
"Tapi integrasi layanan posyandu saat ini sudah berupa posyandu remaja, lansia, posyandu jiwa dan layanan disabilitas," tutur Gus Halim.
Bahkan, kata Gus Halim, posyandu juga berperan dalam pelayanan pencegahan stunting dan ikut berperan aktif saat pandemi Covid-19 melanda desa. Posyandu diyakini bisa memberikan pelayanan praktis kepada masyarakat desa.
Unit layanan yang bisa dikembangkan oleh posyandu ialah kesehatan ibu dan anak, pendidikan usia dini, pendampingan remaja, pendampingan warga berusia lanjut, pendampingan disabilitas, dan penanganan penyakit kronis dan menahun.
"Selain itu, Informasi dan pelaksanaan vaksinasi, pencegahan dan penanganan penderita Covid-19, penanganan keluarga miskin kronis, penyaluran bantuan sosial, layanan pada warga desa lainnya," katanya.
Gus Halim bersemangat saat diajak meninjau langsung desa yang sukses dalam penanganan kesehatan di Aceh. Bahkan ia meminta agar ada waktu khusus saat meninjau desa itu karena ia mau melihat dari dekat untuk mengetahui lebih detail strategi desa itu bisa sukses tangani kesehatan.
"Pola saya itu mereplikasi dan tidak perlu terlalu banyak teori, jadi desa yang sukses itu nantinya akan menjadi percontohan bagi desa lain dalam melaksanakan penanganan kesehatan," katanya.(*)