TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meyakini komitmen dan kesungguhan pemerintah mewujudkan pertahanan siber yang tangguh dan efektif akan dipahami sebagai kehendak serta kesiapan negara-bangsa beradaptasi dengan perubahan zaman terkini yang ditandai dengan digitalisasi.
Era digitalisasi pada semua aspek kehidupan nyata-nyata juga telah menghadirkan beragam ancaman, sehingga kesadaran untuk selalu memrioritaskan keamanan (security awereness) dan mitigasi risiko nyaris akan menjadi kerja tak berkesudahan, seturut perubahan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Selain itu, pertahanan serta keamanan siber yang tangguh pun akan mencerminkan kredibilitas negara-bangsa pada aspek tata kelola yang relevan untuk melindungi kepentingan nasional di berbagai sektor, maupun kepentingan setiap individu warga negara.
Berangkat dari pemahaman itu, pemerintah didorong untuk memberi perhatian lebih dan bersungguh-sungguh pada aspek pertahanan siber.
"Sebagai bagian dari ketahanan nasional, pertahanan siber pada era terkini dan di masa depan harus disikapi dengan sangat serius. Pengalaman buruk terdahulu dan beberapa kasus atau persoalan terbaru patut dijadikan pembelajaran, serta mendorong semua pemangku kepentingan untuk mau memahami ancaman atau risiko serangan siber di sepanjang era digitalisasi," ucap Bamsoet.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2021, ada 1,6 miliar anomali trafik atau serangan siber (cyber attack) di berbagai wilayah Indonesia.
Dan, dari jumlah serangan itu, tercatat ribuan potensi serangan siber yang ditujukan kepada Istana Negara, termasuk terhadap Presiden Joko Widodo. Tak hanya serangan siber melalui malware, BSSN juga mendeteksi anomali sinyal elektromagnetik yang berasal dari sekitar lokasi Istana Negara.
Belum lama ini, Kementerian Dalam Negeri mengakui bahwa hampir 200 juta data kependudukan terancam hilang. Potensi hilangnya ratusan juta data kependudukan itu disebabkan perangkat keras (hardwarw) milik Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sudah usang, karena masa pakainya rata-rata lebih dari 10 tahun.
Masa garansi perangkat keras itu telah habis, dan suku cadangnya bahkan tidak diproduksi lagi. Ditjen Dukcapil belum bisa melakukan peremajaan dan penambahan perangkat karena belum tersedia anggaran. Kasus seperti ini mestinya tidak dibiarkan terjadi, karena dapat mengganggu kepentingan nasional.
Pada Desember 2021, publik dikejutkan oleh informasi tentang peretasan data Bank Indonesia cabang Bengkulu. Bersyukur bahwa data yang diretas oleh kelompok ransomware Conti itu tidak menyangkut data kritikal. Namun, publik mencatat bahwa kasus peretasan data Bank Indonesia oleh hacker menambah panjang daftar pembobolan data pada institusi negara.
Beberapa contoh kasus ini, menurut Bamsoet layak dikedepankan untuk memberi gambaran tentang kekuatan dan kelemahan pada aspek pertahanan siber nasional, sekaligus menjadi peringatan bagi semua pemangku kepentingan akan urgensi keamanan siber.
Walau pun ekses dari perangkat keras yang usang, serangan hingga rangkaian peretasan itu belum signifikan, persoalan ancaman yang berkelanjutan ini hendaknya tidak disederhanakan.
"Data tentang kontinuitas serangan siber dua tahun terakhir patut digarisbawahi. Tahun 2020, terjadi 495 juta serangan siber. Pada 2021, sebagaimana data yang diungkap BSSN, terjadi lonjakan karena ada 1,6 miliar serangan siber ke dalam negeri. Global Risk Report 2021 versi Word Economic Forum juga mengingatkan bahwa faktor serangan siber masih menjadi risiko tertinggi," ucap Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan itu.
Dia juga mengajak pemerintah untuk terus peduli akan pertahanan dan keamanan siber yang tangguh harus terus dibangun karena serangan siber biasanya juga membidik institusi besar dan sangat strategis seperti Istana Negara, Presiden serta bank sentral.