TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menegaskan, peristiwa konvoi rombongan pemotor di wilayah Jakarta Timur pada Selasa 31 Mei 2022, dan di beberapa wilayah lainnya dengan membawa bendera dan poster sambil membagikan selebaran yang garis besarnya mengampanyekan kebangkitan sistem bernegara model Khilafah merupakan bentuk pelanggaran atas hukum yang berlaku di Indonesia dan bersifat merongrong wibawa Negara Pancasila.
Untuk itu dia meminta aparatur negara, utamanya para penegak hukum, memiliki kewenangan untuk melakukan langkah persuasif dan penegakan hukum yang efektif atas pelanggaran dimaksud.
"Saya katakan ini pelanggaran hukum karena UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 20013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi UU tegas menyebutkan tidak hanya Ormas, tetapi juga orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dimana terdapat ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan tersebut yaitu sebagaimana diatur di Pasal 82A ayat (2) yaitu ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun," kata Ahmad Basarah, Selasa (31/5/2022), menanggapi video yang merekam konvoi itu.
Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini, ketentuan dalam UU di atas telah dinyatakan sah berlaku oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 2/PUU-XVI/2018 yang menolak permohonan pembatalan UU tersebut.
"Artinya ketentuan dalam UU ini dapat diterapkan/digunakan oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum dalam hal terdapat orang, sekelompok orang atau Ormas yang melanggarnya," tegas Ahmad Basarah.
Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini menjelaskan, mengenai keputusan hukum bahwa sistem bernegara model khilafah termasuk kategori ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila telah dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam putusan Kasasi Nomor 27K/TUN/2019 tanggal 14 Februari 2019, MA menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 211/G/2017 pada 7 Mei 2018 yang memutuskan mengesahkan Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Dengan demikian, tegas Ahmad Basarah, melalui putusan pengadilan tersebut dinyatakan upaya mendirikan negara khilafah tanpa adanya demokrasi dan pemilu adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Aksi dan pemikiran seperti itu pun tidak sesuai dengan konsep nasionalisme seperti termaktub di sila ketiga Pancasila.
"’Pertimbangan lainnya dalam putusan pengadilan tersebut adalah kegiatan-kegiatan menyebarluaskan ajaran atau paham khilafah arah dan jangkauan akhirnya adalah bertujuan mengganti Pancasila dan UUD Tahun 1945 serta mengubah NKRI menjadi negara khilafah," jelas Dosen Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia ini.
Ahmad Basarah menambahkan, dengan telah jelas dan terangnya aturan hukum di Indonesia perihal larangan penyebaran paham khilafah, hendaknya segenap warga negara Indonesia memahami sekaligus mematuhinya.
"Dalam hal masih ada warga negara baik pribadi maupun kelompok yang melakukan tindakan penyebaran paham khilafah maka hendaknya aparatur negara bertindak tegas, sama halnya dengan ketika ada warga negara yang menyebarkan paham ateisme, komunisme/marxisme-leninisme yang juga jelas-jelas dinyatakan bertentangan dengan Pancasila," jelasnya.
Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan itu, aparat penegak hukum sebaiknya jangan hanya melakukan pendekatan persuasif sebagaimana yang diterangkan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan, tetapi juga perlu mengombinasikannya dengan langkah-langkah hukum yang bersifat efektif.
Apalagi BNPT sendiri telah mengumumkan bahwa konvoi khilafah tersebut diduga dilakukan oleh sebuah organisasi atau kelompok yang sejatinya memiliki visi dan ideologi yang sama dengan HTI yang telah dibubarkan dan dilarang oleh negara beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua Lakpesdam PBNU itu bahkan menandaskan, gerakan tersebut juga telah bersifat "kudeta merangkak konstitusional". Mereka di satu sisi memanfaatkan sistem demokrasi berupa hak konstitusional warga negara untuk berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sebagaimana ketentuan UUD NRI 1945.
Akan tetapi di sisi lain, penggunaan hak konstitusional tersebut justru mereka pakai untuk merongrong dan menghancurkan negara Pancasila, dengan cara melakukan berbagai aksi propaganda secara terstruktur, sistematis dan masif untuk merusak cara pandang dan kesetiaan masyarakat Indonesia terhadap sistem negara Pancasila.
"Tentu dengan aksi itu mereka berharap akan banyak masyarakat kita yang akan mendukung cita-cita ideologis mereka untuk mendirikan negara khilafah di masa yang akan datang," tegas Ahmad Basarah yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat GMFKPPI.