TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan meminta kepada pemerintah untuk serius menyikapi melonjaknya alokasi dan anggaran subsidi, khususnya untuk BBM penugasan (pertalite) yang tidak tepat sasaran.
Hal ini menjadi persoalan yang belum kunjung selesai, sementara neraca perdagangan migas kian tertekan dan keuangan negara sangat terbebani. Jika ini terus berulang, maka rakyat kecil yang akan terus menjadi korbannya.
Apakah kendalanya adalah regulasi? Atau ini murni kinerja kelembagaan hilir migas yang tidak optimal? Ataukah memang perencanaan subsidi yang tidak tepat? Tentu deretan pertanyaan ini mesti dijawab dan dicarikan solusinya.
“Faktanya kuota pertalite sudah jebol. Sepanjang 2022, serapan pertalite mencapai 29,48 juta kilo liter, jauh melampaui kuota yang ditentukan sebesar 23,05 juta kilo liter. Perkara menambah kuota hanya membawa dampak membengkaknya anggaran subsidi. Ini tentu bukan hal yang baik. Sejatinya perencanaan itu harus dapat memitigasi kondisi yang akan terjadi. Penambahan kuota ini hanya menjelaskan ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun anggaran yang presisi dan tepat arah,” ujar Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.
Dalam catatan Institute for Energy Economics and Financial Analyis (IEEFA), konsumsi BBM di Indonesia memang termasuk yang paling boros.
Rata-rata penggunaan BBM untuk kendaraan ringan konvesional di Indonesia mencapai lebih dari 8 liter per 100 kilometer. Jika dibandingkan dengan India, misalnya, yang konsumsi BBM hanya rata-rata 6 liter per 100 kilometer. Ini artinya, kita lebih boros 40 persen.
Fakta sosiologis seperti ini juga harusnya dicermati dan menjadi masukan kebijakan. Mengapa kita lebih boros? Apakah ini sepadan dengan produktivitas? Ini perlu dianalisis agar keberlanjutan fiskal tetap terjaga.
Menurut Profesor di bidang Strategi Manajemen Koperasi dan UKM ini, dengan realisasi anggaran subsidi dan kompensasi BBM yang mencapai Rp 322,4 triliun pada 2022, perkara konsumsi BBM ini sudah sangat serius dan mencekam.
Angka ini melonjak jauh dibandingkan rencana sebesar Rp 267,1 triliun pada APBN 2022. Ini menggambarkan ada sejumlah Rp 55,3 triliun biaya subsidi yang membengkak. Maka itu, penting untuk alokasi dan pengawasan penggunaan BBM subsidi.
Jika ternyata perilaku konsumsi BBM warga boros, maka lakukan sosialisasi, edukasi terarah, serta penggunaan instrumen pembatasan yang tepat. Jika memang penyelundupan marak terjadi, maka fungsi pengawasan mesti ditegakkan dengan serius.
“Negara telah memberikan mandat kepada BPH Migas untuk mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, serta fungsi pengawasannya. Begitu dengan Pertamina yang diberikan tugas penyediaan dan distribusi BBM penugasan sesuai amanat Perpres 191/2014. Kalau saja perkaranya pada perencanaan kuota subsidi yang kurang presisi, tentu ini menjadi catatan serius bagi pemerintah dalam memahami pola perilaku konsumsi BBM di Indonesia. Atau jika memang regulasi ini kurang memberikan mandat dan kewenangan pengawasan dan penindakan, tentu revisi Perpres adalah keharusan. Jangan sampai rakyat yang terus menjadi korban,” tutup Syarief.(*)