TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo mengatakan Survei Nasional yang dilakukan MPR RI menunjukkan pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dalam pengenalan Empat Pilar MPR RI meningkat dari 23 persen pada tahun 2011 menjadi 32,8 persen di tahun 2018 dan tahun 2022 telah mencapai 43.1 persen.
Hasil survei juga menunjukan lebih dari 90 persen masyarakat setuju dengan prinsip-prinsip dasar dalam setiap sila Pancasila.
"Pengamalan masyarakat terhadap Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari mencapai di atas 90 persen. Fondasi kebangsaan yang makin kokoh juga ditunjukkan dengan pengenalan dan persetujuan masyarakat terhadap NKRI yaitu 99,7 persen. Masyarakat tetap melihat bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan sebuah konstitusi yang dinamis.
Baca juga: Hadiri HUT Ke-78 MPR RI, Jokowi Tekankan Pentingnya Visi Dilandasi Tolok Ukur yang Jelas
Hal ini ditunjukan dari sebanyak 85,5 persen menyebutkan perlunya adaptasi yang sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman," ujar Bamsoet dalam sambutan Peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-78 MPR RI, di Gedung Nusantara IV Senayan, Jakarta, pada Jumat (18/8/23).
Turut hadir antara lain, Presiden Joko Widodo, Ketua MK RI Prof. Anwar Usman, Ketua KY RI Amzulian Rifai, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, Menkopolhukam Mahfud MD, Menparekraf Sandiaga Uno, Menteri ATR/Kepala BPN Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto, MenPan RB Azwar Anas, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Wakapolri Komjen Agus Andrianto, dan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. K.H. Nasaruddin Umar.
Selain itu, hadir juga para Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Yandri Susanto, Hidayat Nur Wahid, Arsul Sani, dan Fadel Muhammad, Wakil Ketua DPR RI Letjen TNI (Purn.) Lodewijk Freidrich, dan Rachmat Gobel, Wakil Ketua DPD RI Letjen TNI (Mar) (Purn.) Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Bachtiar Najamudin.
Baca juga: Bamsoet Ajak Elemen Bangsa Perkuat Agenda Kebangsaan di Peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-78 MPR
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, menyikapi hasil survei tersebut, MPR RI dalam menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya, khususnya dalam mengkaji sistem ketatanegaraan dan UUD NRI tahun 1945, akan mewadahi berbagai arus pemikiran yang berkembang. Termasuk aspirasi yang menghendaki dibentuknya sistem perwakilan melalui sebuah majelis yang inklusif dan komprehensif, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Soekarno dan didukung oleh Mohammad Yamin dan Soepomo.
Landasan pemikiran Soekarno jelas dan tegas, tidak boleh ada satupun elemen bangsa yang merasa ditinggalkan. Sehingga lembaga perwakilan pun harus merepresentasikan seluas-luasnya kepentingan rakyat. Lembaga perwakilan yang dimaksud adalah yang dapat mewakili rakyat, mewakili daerah, dan mewakili golongan.
"Badan Pengkajian MPR RI bersama Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI saat ini sedang melakukan kajian mendalam terkait urgensi menghadirkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR RI yang juga telah disuarakan dan didukung berbagai kalangan seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan berbagai kalangan lainnya," jelas Bamsoet.
Baca juga: Momen Jokowi di Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-78 MPR, Singgung Aturan Tak Boleh Kaku
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, idealnya memang MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas, 23 Mei 2023 yang lalu. Karena itu, setelah 25 tahun memasuki era Reformasi sejak tahun 1998, kini saatnya kita merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara.
"Sesuai amanat ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR RI seharusnya tetap dapat diatribusikan dengan kewenangan objektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat pengaturan. Sehingga mampu mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," tegas Bamsoet. (*)