Karena konstruksinya maskulin, jelas dia, pihak selain maskulin, seperti perempuan dan anak, banyak menjadi korban dalam beragam konflik.
Di sisi lain, ujar Andy, di tengah situasi perempuan menjadi korban, sejumlah perempuan pun ada yang menjadi kombatan untuk ikut bertempur, serta menjadi bagian dari pasukan perdamaian dalam proses menghentikan konflik.
Andy berharap, sejumlah upaya seperti cegah kontak senjata, bantuan terhadap pengungsi dan mencegah kekerasan berbasis gender, harus konsisten dilakukan.
Selain itu, tambah dia, pemerintah Indonesia harus terus mendorong agar pihak yang berkonflik mereformasi konstitusinya, untuk mewujudkan hidup damai berdampingan yang bermartabat.
Kepala Pusat Riset Politik, BRIN, Athiqah Nur Alami berpendapat perang Palestina-Israel sangat kental dengan isu gender terkait kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak.
Diakui Athiqah, saat ini Israel masuk dalam black list negara yang menciptakan jumlah korban anak-anak dan perempuan dalam perang.
UN report on Children in Armed Conflict mencatat, tambah dia, jumlah korban sejak 7 Okt 2023 sekitar 13.000 anak dan 9.000 perempuan meninggal dan luka-luka.
Jadi, menurut Athiqah, dalih self defense yang dilontarkan Israel saat menyerang Palestina sudah tidak valid lagi, karena serangan Israel mengarah ke genosida.
Pakar Geopolitik Timur Tengah, Dina Y. Sulaeman berpendapat untuk mengetahui cara mengadvokasi korban konflik Israel-Palestina harus tahu posisi perempuan dan anak.
Pemerintah Indonesia, ujar Dina, selalu berpendapat bahwa Palestina itu belum merdeka. Jadi perempuan dan anak Palestina adalah manusia yang belum merdeka dan wilayahnya sedang diduduki.
Diakui Dina, sejak awal kedatangan bangsa Yahudi ke tanah Palestina memang merupakan aksi kolonialisme dengan melakukan perpindahan penduduk lalu mereka menetap di negara jajahan dan mereka berupaya mengontrol kekuasaan.
Dengan posisi seperti itu, menurut Dina, tentu tidak ada yang salah dengan perjuangan orang-orang Palestina untuk merdeka dengan cara apa pun.
Selain itu, menurut Dina, untuk mengadvokasi perempuan Palestina harus berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menurut Dina, sejumlah aksi kekerasan sudah dilakukan oleh Israel sebagai penjajah. Seharusnya, tegas dia, bukan peace keeping yang diupayakan, tetapi menghentikan kekerasan terhadap kemanusiaan yang dilakukan negara terhadap negara lain.