TRIBUNNEWS.COM - Permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas sejumlah undang-undang agar dimungkinkan warga tidak beragama mendapat kritikan tajam dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA.
HNW mengingatkan bahwa permintaan seperti itu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI 1945, mestinya MK langsung segera menolak permohonan tersebut, tanpa membuang waktu menyidangkannya.
“Itu permohonan yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, karenanya tidak memiliki dasar sama sekali. Oleh karena itu, MK seharusnya segera langsung menolak permohonan, dan tidak perlu memberikan ‘panggung’ kepada pemohon untuk disidangkannya permohonan itu lama-lama,” tegasnya dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (24/10).
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa dalam persidangan uji materi di MK, yang menjadi batu ujinya adalah Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
“Dan kita bisa membaca dari pembukaan hingga pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 itu sangat bernafaskan nilai-nilai keagamaan dan Ketuhanan, dan bukan sebaliknya,” ujarnya.
Pertama, jelas HNW, pembukaan UUD NRI 1945 memuat Pancasila yang merupakan ideologi dan norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm), dimana sila pertamanya berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
“Ini sangat jelas bahwa landasan Negara Republik Indonesia adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan “tidak beragama,” tukasnya.
Kedua, batang tubuh UUD NRI 1945 juga menjabarkan secara detail norma agama dan Ketuhanan tersebut. Bahkan, ada Bab XI yang khusus diberi judul dengan Agama, dimana di Bab tersebut terdapat Pasal 29 yang menegaskan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Hal kebebasan memeluk Agama dan ajaran Agama ini malah ditegaskan dalam pasal sebelumnya yaitu pasal 28E ayat (1) bahwa yang menjadi bagian dari HAM bukan untuk tidak beragama, melainkan memeluk Agama dan beribadat sesuai aturan Agama.
Baca juga: HNW: Semangat Juang para Santri demi Merengkuh Masa Depan Bangsa
Selain itu, masih banyak juga pasal-pasal dalam konstitusi yang bernafaskan keagamaan seperti sumpah jabatan presiden dan wakil presiden berdasarkan agama (Pasal 9 ayat (1)), diakuinya peradilan agama sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (2)), hak beragama dan bukan hak untuk tidak beragama (Pasal 28I ayat (1) juga bagian dari HAM, bahkan pemaknaan dan tuntutan soal HAM juga ada pembatasannya antara lain justru dengan nilai-nilai agama (Pasal 28J ayat (2)).
Dan satu tujuan pendidikan nasional yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia (Pasal 31 ayat (3) dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dengan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama (Pasal 31 ayat (5)).
“Dari semua ketentuan tersebut, bila rujukannya pada Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, sebenarnya sudah tidak ada celah dari permohonan ini untuk meminta agar diperbolehkan untuk tidak beragama di Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Menerima Kunjungan Mufti Perlis Malaysia, HNW Tegaskan Kesesuaian Pancasila dengan Agama Islam
Oleh karena itu, HNW berharap agar MK segera saja menolak tuntutan inkonstitusional itu. Apalagi saat ini pemerintahan Prabowo baru saja dilantik dan sedang menyusun program untuk menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945.
“Jadi, seharusnya ruang-ruang yang dapat menimbulkan kegaduhan dan disharmoni seperti permohonan aneh ini, harusnya segera ditolak saja,” pungkasnya.
Sebagai informasi, seorang warga asal Jakarta Timur mengajukan uji materi sejumlah UU, seperti UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dan UU HAM ke MK karena dinilai merugikan hak konstitusionalnya sebagai orang yang tidak beragama. Hal tersebut dinilainya bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Baca juga: HNW: Anggota Liga Arab dan OKI Bisa Ikut Ambil Langkah Seperti Nikaragua yang Putuskan Hubungan