WOW... Petualangan tiga bulan lebih 10 hari. Itulah salah program terbaru stasiun televisi Kompas TV. Perjalanan menyusuri pelosok Indonesia selama 100 hari nonstop yang dikemas dengan program titel 100 Hari Keliling Indonesia. Bintang film dan presenter Ramon Y Tungka selaku pemandu program bersama tim produksi Kompas TV melaporkannya catatan harian untuk pembaca Tribunnews.com. Berikut catatannya.
TRIBUNNEWS.COM - Dari Bukittinggi Ramon Y Tungka bergegas ke Payakumbuh. Apa gerangan yang dicari Ramon di sana?
Bersama dengan tim Ramon naik bus dengan ongkosnya Rp10 ribu rupiah. Pemandangannya bagus sekali, sawah-sawah, damai banget. Perjalanan pendek selama satu jam dari Bukittinggi ke Payakumbuh berakhir Terminal Koto nan Ampek, dan lagi-lagi menemui terminal kosong.
"Terus kami tanya-tanya ke orang-orang di mana rumah Tan Malaka, tapi orang-orang malah tidak tahu siapa itu Tan Malaka. Miris, karena Tan Malaka adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan seorang bapak republic. Dan lagi-lagi sisi sentimental saya muncul, saya sedih sekaligus ingin marah. Kenapa begitu mudah orang melupakan beliau? Ah sudahlah. Lebih baik saya lanjutkan perjalanan dulu," kata Ramon sedih.
Karena terminal sepi angkutan, Ramon disarankan ke pasar. Dari pasar tim kemudian naik angkutan umum menuju Suliki dengan ongkos Rp 6.000. Perjalanan menuju rumah Tan Malaka masih dilanjutkan dengan naik ojek selama setengah jam. Perjalanannya lumayan jauh. Tapi sebanding dengan kehindahan yang didapat.
"Begitu tiba di Suliki saya merasa seperti sedang di Ubud. Dengan bonus ngarai-ngarai yang super indah," ucap Ramon penuh kekaguman.
Dan yang paling penting akhirnya kami tiba di rumah Tan Malaka. Sebuah rumah gadang dengan gonjong lima. Jangan bayangkan kemegahan, karena begitu kita menginjak lantainya terdengar derit kecil. Isyarat bahwa rumah ini sudah cukup rapuh. Rumah ini dibangun oada 1936, ukurannya kurang lebih 18 x 11 meter.
Di rumah inilah pada 2 Juni 1897 Tan Malaka lahir. Seorang revolusioner yang terlahir dengan nama Ibrahim ini berayahkan seorang pegawai rendahan, bekerja sebagai manteri suntik dan petugas yang mengatur distribusi garam di kampungnya. Cukup miskin untuk menyekolahkan anak.
Namun Tan yang terkenal nakal namun cerdas cukup beruntung dalam pendidikan. Dia mendapatkan rekomendasi dari gurunya untuk melanjutkan sekolah melanjutkan pendidikan ke sekolah guru negeri untuk guru-guru Bumiputera di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi). Maka dari rumah dan sekolah inilah segala ide dan pemikiran Tan dimulai.
Di rumah yang sekarang dijadikan museum ini koleksi buku-buku sejarah tentang perjuangan tersusun rapi di rak. Begitu juga dengan koleksi foto yang jumlahnya kurang lebih 34 buah berjajar menghiasi dinding. Ada juga beberapa buku hasil penelitian tentang dirinya, salah satunya adalah "Dari Penjara Ke Penjara". Kini rumah kecil Tan itu ditunggu oleh Indra Ibnu Ikatama, cicitnya Tan Malaka.
Ramon menelusuri rumah dengan perasaan campur aduk, mengenal kehidupan kecil Tan secara pribadi membuatnya paham betapa kuat karakter lelaki ini. Dia adalah seorang aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia seorang pemimpin sosialis, dan politisi. Tan adalah pendiri Partai Murba. Dan lebih dari itu semua Tan dengan segala pemikirannya telah berperan besar dalan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dia adalah tokoh revolusioner yang legendaris. Tak habis-habisnya ide Tan dipelajari oleh banyak peneliti, dan Tan tetap saja memberikan lebih banyak hal lagi untuk dipahami..
Dalam perjalanan kembali dari Payakumbuh Ramon semakin paham, pemikiran tidak akan pernah memberikan kontribusi negatif pada seseorang. Baik saat dia hidup maupun setelah dia tiada. Raga Tan telah terkubur didalam tanah, tapi pemikiran Tan abadi. Tidak pernah mati, justru semakin nyata dan sejati.