Laporan Wartawan Tribunnews.com, Daniel Ngantung
TRIBUNNEWS.COM - Hampir sekujur tangannya dipenuhi tato. Sementara beberapa tindikan tampak menghiasi kuping dan telinganya.
Siapa yang menyangka di balik tampilannya yang menyeramkan itu, Andre Yudho (29) adalah seorang pembudidaya batik.
Hidupnya seperti didedikasikan penuh untuk melestarikan batik. Di daerah asalnya, Magelang, Jawa Tengah, pria yang tak sempat menamatkan pendidikan di perguruan tinggi ini membuka kelas membatik untuk ibu-ibu setempat. Komunitas ini ia namakan Batik Keloen (Keloen dalam bahasa Jawa berarti "mengajak").
Hebatnya lagi, Andre tak memungut biaya dari peserta yang kebanyakan adalah ibu-ibu petani. Semuanya serba gratis. Seluruh perlengkapan seperti malam, canting, dan kain, sudah disediakan. Justru, mereka mendapat penghasilan dari hasil penjualan batik karya mereka sendiri.
Membatik awalnya adalah sesuatu yang betul-betul asing buat seorang Andre. Ia bukan berasal dari keluarga yang akrab dengan kesenian ini - orang tuanya bukan seorang perajin batik.
Keterarikannya kepada batik semata bermula dari sebuah keprihatinan terhadap kaum muda yang begitu vokal terhadap kelestarian batik namun absen tindakan. Bukan pemerintah yang diprotesnya, melainkan kaum segenerasinya.
"Mereka marah dan protes di jalan-jalan ketika batik diklaim negara lain. Tapi tidak ada aksi nyata untuk melestarikannya," ujar Andre saat berbagi pengalaman dalam acara Thanks to Nature gelaran Teh Kotak di Gunung Pancar, Sentul, Rabu (19/6/2013).
Maka pada tahun 2011, dengan bermodalkan pinjaman orang tua dan tabungan pribadi, ia mulai membangun komunitas Batik Keloen. Dalam komunitas ini, Ibu-ibu di desa Wanasri, Magelang, yang kebanyakan adalah petani, dilatih bagaimana membatik teknik tulis dan cap dengan baik. Pelatihnya adalah rekanan Andre yang ia temui dari daerah penghasil batik terkenal seperti Yogyakarta. Saat ini sudah ada 30 remaja dan ibu-ibu muda yang aktif membatik dalam komunitas Batik Keloen.
"Para ibu di sana beraktifitas mulai jam 6 sampai 8 pagi. Lalu mulai lagi jam 4 sore. Daripada waktu jeda terbuang sia-sia, mending mereka belajar membatik," kata pria kelahiran Magelang, 12 Desember 1983 ini.
Selain sebagai upaya untuk melestarikan batik, Batik Keloen juga menjadi wadah mereka untuk menambah penghasilan. "Ada yang cerita, salah satu anggota bisa menguliahkan anaknya dengan penghasilan di Batik Keloen. Mereka bukan bekerja untuk saya, tapi untuk mereka," tutur Andre.
Harga kain Batik Keloen dihargai cukup bervariasi sesuai bahan dan kerumitan pembuatan. Sehelai kain batik tulis sutra berukuran 2,5 meter persegi dibanderol seharga Rp 1 juta sampai Rp 4 juta. Sementara batik kombinasi, tulis dan cap, dijual lebih murah, mulai dari Rp 300 ribu. Bila dihitung secara rata-rata, perbulannya Batik Keloen bisa meraup penghasilan Rp 10 juta sampai 15 juta.
Selain itu, yang menjadi fokus utama Andre adalah mengenalkan batik ramah lingkungan dengan menggunakan pewarnaan alami bukan buatan atau sintesis.
Pewarnaan alami ia dapatkan dari berbagai jenis tumbuhan seperti daun putri malu dan indigo. Hingga saat ini baru ada enam tanaman yang ia gunakan. "Sebetulnya hampir semua tumbuhan bisa dijadikan pewarna alami. Namun baru enam jenis tanaman yang saya tahu cara menguncinya agar warna tidak lutur saat dilorot," ujar dia.
Proses pembuatan pewarna alami diakui Andre cukup rumit dan memakan waktu. Warna indigo misalnya. Tanaman tersebut harus dipetik pada pagi hari sebelum matahari terbit. Lalu direndam semalaman hingga membentuk paste.
Tak seperti warna sintesis, warna yang dihasilkan pewarnaan alam memang cenderung kusam dan kurang terang. "Tapi itu tidak sebanding dengan kerusakan alam yang diakibatkan limbah warna sintesis," kata dia.
Seluruh tanaman penghasil pewarna alam diperoleh dari hasil bercocok tanam sendiri. "Tanpa disadari alam Indonesia menyediakan semuanya. Buat apa menggunakan pewarna sintesis yang hampir semuanya diimpor," tutur Andre.
Menurut Andre, penting buat perajin batik untuk menggunakan pewarnaan alam mengingat ini sudah menjadi standar internasional.
"Orang-orang Amerika, Jepang dan Eropa khususnya sudah mulai aware dengan lingkungan selain itu kulit mereka juga sensitif jika bersentuhan dengan bahan sintesis," ujar dia.
Dukungan Pemerintah Belum Maksimal
Diakui Andre, pemerintah belum begitu serius menindaklanjuti upaya pelestarian batik. Beberapa kejadian tak mengenekkan pernah ia alami berkaitan dengan keikutsertaan Disperindag dalam mempromosikan batik di berbagai pameran di luar negeri.
Ia menilai keikutsertaan karyawan Dinas dengan jumlah yang begitu banyak mempromosikan batik ke luar negeri kurang begitu efektif. "Bagaimana mau mengenalkan batik sebagai sebuah proses seni, mereka tidak tahu apa-apa. Yang tahu adalah para perajin yang justru tidak ikut serta," kata Andre.
Pengalaman pahit pernah ia rasakan saat berpromosi di China.
"Kejadiaannya waktu pameran di China. Awalnya akomodasi dan sewa booth gratis, tapi entah mengapa kami harus bayar 50 persen dari biaya perjalanan ke Dinas. Ternyata untuk membiayai perjalanan orang Dinas. Sedihnya, saat kami sibuk menjaga stan, mereka malah jalan-jalan," kenang Andre.
Ekspansi ke Luar Negeri
Semangat Andre melestarikan batik rupanya sudah menggaung sampai Jepang, Jerman, dan Belanda. Besoknya, Kamis (20/6/2013), setelah acara Thanks to Nature, Andre bertolak ke Belanda untuk memennuhi undangan Kerajaan Belanda mengenalkan batik di sebuah acara.
Tawaran membuka workshop datang dari Jerman. Salah satu wisatawan Jerman yang terkesima dengan proses membatik saat berkunjung workshop Batik Keloen berencana menyediakan tempat workhsop di Frankfurt. "Masih dalam rencana. Kalau jadi tahun depan," kata Andre.
Di Jepang dalam waktu dekat ini, Andre akan memberikan workshop membatik.
Usaha Andre dan Batik Keloen tentu patut dibanggakan. Di tengah aksi yang tong kosong bunyi nyaringnya, masih ada anak muda yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan budaya bangsa, dalam hal ini batik.
Ia berharap dengan hadirnya Batik Keloen, batik dapat terus dilestarikan dari generasi ke generasi. "Saya juga ingin membangun semangat masyarakat desa untuk mengembangkan potensi daerahnya sendiri. Buat apa jauh-jauh ke ibu kota, kalau ternyata semua sudah tersedia di depan mata," ungkap dia.
Ada satu impian yang Andre ingin wujudkan yaitu menjadikan kota Magelang sebagai pusat pariwisata batik.
"Saya pengin semua orang bisa belajar batik gratis di sini," kata Andre yang mengkritik beberapa museum karena membebankan biaya pada mereka yang ingin belajar batik.
"Saya persilakan siapa saja yang berminat belajar membatik, silakan datang ke Batik Keloen. Mau belajar batik seminggu, sebulan, setahun, semua gratis," kata Andre.
Batik Keloen
Wanasri, Tirtosari, Sawangan, Kabupaten Magelang
085729870154
0293-782620
Daniel Ngantung