Tribunnews.com - Jakarta adalah ibu kota soto-soto. Varian soto berkumpul di sini. Salah satunya adalah sroto Sokaraja. Soto versi Banyumas ini bergabung dengan rekan sebangsanya, yaitu soto betawi, soto madura, coto makassar, soto lamongan, soto padang, soto bandung, soto banjar, dan lain-lain.
Di Jakarta, sroto sokaraja bisa dinikmati, salah satunya, di Sroto Eling-eling, kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Abdullah Syafei dan Jalan Tebet Utara I. Keduanya dikelola oleh Sukimin (70) yang memang berasal dari ”kampungnya” sroto, yaitu Desa Kanding, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Itulah mengapa pada papan nama rumah makannya Sukimin perlu menunjukkan otentisitas sroto: Sroto & Mendoan Eling-eling Asli Banyumas-Sokaraja.
Berbeda dengan varian soto lain, sroto menggunakan kacang tanah tumbuk sebagai campurannya. Si kacang inilah yang menjadikan sang sroto berkuah bening itu terasa gurih dan segar. Ada pilihan daging ayam, daging sapi, atau campuran keduanya. Semua sama-sama membekaskan rasa gurih segar. Kegurihan terasa khas kala kacang tanah tumbuk itu berpadu dengan kaldu ayam atau kaldu daging sapi. Ditambah remukan kerupuk merah dan taoge, semangkuk sroto terasa mantap di lidah.
Selain bumbu dasar standar, sroto menyertakan bumbu berupa kamijara atau serai. Tidak seperti bumbu kacang pada pecel, bumbu kacang pada sroto tidak menggunakan kencur. Kacang cukup ditumbuk dengan cabe, bawang merah, bawang putih, dan bumbu lain yang dirahasiakan Sukimin. ”Soalnya banyak yang ikut-ikutan, meniru,” kata dia.
Eling-eling menggunakan daging ayam kampung yang dimasak tanpa kulit. Adapun untuk daging sapi, Sukimin memilih bagian yang tidak mengandung lemak. Ia juga tidak mencampurkan jeroan dalam kuahnya. ”Soalnya itu banyak kolesterolnya. Bisa darah tinggi,” ujar Sukimin.
Rupanya ia mendengarkan masukan dari pelanggan yang datang untuk bersantap dengan kesadaran kesehatan. Pelanggannya datang dari berbagai kalangan, termasuk artis, pejabat, dan politisi. Sebagian pelanggannya adalah warga asal wilayah Banyumas. Jangan kaget jika terdengar logat Jawa banyumasan saat bersantap di Eling-eling.
Bukan banyumasan kalau belum ada tempe mendoan. Maka, Eling-eling juga menyediakan mendoan, tempe tipis bersaput tepung, bercampur irisan tipis daun bawang. Tempe digoreng mendo alias seperempat matang. Untuk mendapatkan mendoan ideal, tempe harus digoreng dalam wajan dengan minyak yang melimpah. Minyak harus dalam kondisi tua atau panas. Tempe digoreng kurang dari satu menit. ”Goreng, celup, balik, lalu angkat. Ya, cuma begitu saja,” kata Sukimin menjelaskan cara menggoreng mendoan.
Selain mendoan, santap ala mbanyumasan akan makin afdal dengan minum dawet gula jawa. Bersama sayup-sayup gending-gending banyumasan, Eling-eling dengan sroto, mendoan, dan dawetnya mengajak pesantap berkelana ke jagat banyumasan. Oleh budayawan dan novelis Ahmad Tohari, banyumasan disebut sebagai masyarakat berkultur egaliter, menempatkan manusia dalam posisi sejajar.
Warung perjuangan
Sroto Eling-eling merupakan bagian dari perjuangan hidup Sukimin. Wong Banyumas ini merantau ke Jakarta pada tahun 1962. Sempat bekerja di sebuah bank, Sukimin mencoba membuka usaha mebel pada 1974. ”Saya ditipu orang sampai habis-habisan,” ucap Sukimin.
Lelaki yang menikah pada 1966 itu pun berpikir keras mencari usaha lain demi menghidupi keluarga dengan empat anak. Sukimin teringat ibunya di kampung yang berjualan sroto. Terpikirlah oleh Sukimin untuk berjualan soto di Jakarta. ”Saya di Jakarta sulit mencari sroto banyumas. Terus saya berpikir untuk jualan sroto. Saya minta resep sama ibu saya.”
Sukimin punya cukup pengalaman di dunia persrotoan. Setidaknya Sukimin remaja pernah membantu sang ibu, Sukini, berjualan sroto. Namun, rupanya tak mudah membuka warung secara menetap di Jakarta. Sejak mulai usaha pada 1985, warung sroto Sukimin setidaknya sudah enam kali berpindah lokasi, mulai dari Kranji, Tanjung Priok, Kalimalang, Bekasi, Cibubur, hingga kemudian pada 1993 ia mendapat tempat di Tebet.
Rupanya kawasan sekitar Tebet menjadi awal sukses usaha sroto Sukimin. Setidaknya ia telah bertahan 21 tahun dengan dua warung soto di Tebet yang letaknya tidak berjauhan. Lokasi di Jalan Abdullah Syafei atau dulu lebih dikenal sebagai Jalan Lapangan Roos memang sangat strategis dan kini menjadi salah satu kawasan kuliner di Jakarta Selatan.
Mengapa namanya Eling-eling? ”Eling itu artinya ingat. Jadi, supaya kita selalu ingat Yang Kuasa,” kata Sukimin sambil mengingatkan bahwa nama Eling-eling mulai ada yang meniru meski ia tidak membuka cabang selain dua rumah makan di kawasan Tebet itu.
Lalu, mengapa tokoh punakawan Bawor atau Bagong menjadi ikon Sroto Sokaraja Eling-eling? Sukimin bercerita panjang lebar. Tokoh punakawan Semar dan Gareng sudah lazim dipasang di atas pikulan penjual dawet banyumasan. Akan tetapi, Sukimin memilih tokoh Bawor yang dalam jagat pewayangan gaya Surakarta dan mentaraman (Yogya) disebut Bagong.
”Bawor itu idola saya karena dia pengabdi setia, jujur, dan sakti. Dan, tidak korupsi....” (XAR)