TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Kentut memang bisa membuat sehat, tetapi bagaimana bila buang angin itu dilakukan secara sembrono? Tidak melihat sikon, nyaring dan bau busuk lagi. Jawabannya tentu bisa dua: ditinggal pergi orang sekitar sambil menggerutu atau dibully habis-habisan.
Namun, konon ada juga di sebuah masyarakat tradisional gara-gara kentut mampu memicu tindak kriminal. Misalnya terjadi perkelahian karena merasa terhina atau bahkan si pembuang angin itu sampai bunuh diri akibat tak tahan menyimpan malu. Lalu bagaimana sebenarnya manusia harus beradab ketika hendak buang angin ini?
“Tidak ada pendidikannya di sekolah resmi, kecuali di majelis-majelis taklim,” ujar KH Mujib Khudori, seorang pimpinan pesantren di Jakarta ketika memberikan ceramah di Banjarmasin belum lama ini.
Di majelis taklim, menurut ustand dan kocak ini, diajarkan bukan hanya adab bagi orang yang melepas angin agar jangan sembarangan tetapi juga bagaimana orang di sekeliling harus bersikap ketika mendengar suara kentut atau tiba-tiba mencium bau kentut yang tanpa diawali dengan bunyi suara terdengar.
“Ustad atau alim ulama di majelis taklim mengajarkan kepada jamaahnya bagaimana adab yang elok menyikapi soal yang rada-rada sensi ini,” ujarnya.
Pertama, ujarnya, bila tiba-tiba tercium bau yang bertendensi akibat lepas angin, maka adab yang baik adalah menganggap itu angin berlalu. Tak perlu dibahas apalagi mencari-cari pelakunya.
“Ayoo siapa yang kentut tadi, siapa, ngaku aja? Misalnya. Jangan dilakukan itu,” jelas Ustan Khudori disambut tawa riuh jamaahnya.
Nah, tentang bagaimana sikap kita bila mendengar suara kentut yang nyaring tetapi di tengah suasana pertemuan atau rapat, misalnya?
Tentang yang ini KH Mujib Khudori lalu menceritakan tentang sebuah rapat para guru dan kepala sekolah di sebuah sekolah. Tiba-tiba ada yang melepas angin dengan suara agak terjepit yang terkesan ditahan-tahan. Rupanya si pelepas angin ini sudah mencoba menahan namun toh kelepasan juga.
“Nah...ini yang menyebab batalnya wudhu..”, ujar guru agama yang ada di ruangan itu.
Semula guru yang lain ternyengang, namun kemudian manggut-manggut: setuju!
“Kalau yang ini mah..tidak bisa dikalikan hanya bisa dibagikan...”, giliran guru matematika mengulas. Semua guru mengisyaratkan setuju.
“Dan, angin membawanya ke arah utara...”, ini kesimpulan guru yang mengajar geografi.
Tidak ada yang tertawa.
“Iya..bener...bahkan nadanya ada di dasar C minorrr,” akhirnya guru kesenian menutup pembahasan itu.
Semuia terdiam, kecuali kepala sekolah yang agak tertunduk.
“Mungkin beliau yang lepas angin? Tidak dibahas siapanya, tetapi inilah cara elok tanpa ada yang merasa malu dan kesal”, ujar Ustad Khudori