Melki AS, Penggiat Sastra Suluh
TRIBUNNEWS.COM - Nusakambangan, tempat ini sejatinya adalah nama salah satu pulau terluar Indonesia yang berada di Jawa Tengah. Tepatnya di kabupaten Cilacap. Nusakambangan dikenal karena reputasinya sebagai penjara yang sudah dioperasikan dari zaman penjajahan sampai sekarang.
Dan di Nusakambangan inilah beberapa narapidana kelas berat ditahan bahkan di eksekusi mati.
Terakhir Fredy Budiman, seorang gembong narkoba besar di Indonesia yang di eksekusi dihadapan moncong senapan regu tembak di tempat ini.
Cerita mengenai penjara pulau Nusakambangan ini jarang hadir di hadapan publik. Terutama proses sebelum terjadinya eksekusi para terpidana mati; bagaimana keadaan psikisnya menjelang eksekusi, kebiasaan yang dilakukan sebelum di eksekusi dan berbagai wasiat yang ditulis sebelum nyawa mereka berhenti di tangan juru ‘dor’.
Sebuah buku yang ditulis oleh Edi Warsono setidaknya memberi kita pemahaman tentang itu semua.
Setidaknya ada beberapa catatan yang ditulisnya selama mendampingi para terpidana mati sampai mengantarkan jenazahnya kembali ke daerahnya masing-masing atau dikembalikan ke keluarga tercinta.
Tentunya ini bukan suatu hal yang sepele dan santai. Buku yang diberi judul ‘Kusentuh Nuranimu Dengan Profesiku’ ini memberikan kita pemahaman baru tentang pulau penjara Nusakambangan.
Di bagian pengantar tulisan, Edi Warsono sudah membicarakan premisnya tentang Penjara Nusakambangan.
Menurutnya, mengapa penjara sering dikatakan gagal membina tahanan, itu karena kurangnya publikasi dan penjelasan tentang penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (lapas) itu sendiri.
Dan melalui buku inilah penulis ingin mengatakan bahwa kehidupan di penjara itu tidak bisa digeneralisir seperti yang sering disangkakan.
Meskipun penulis paham bahwa banyak alasan yang membuat stigma penjara menjadi buruk; seperti palayanan yang tidak baik, petugasnya yang ‘main mata’ dengan tahanan dan sebagainya. Tapi, lagi-lagi, menurutnya sebagai petugas penjara, pekerjaan itu seharusnya menjadi pekerjaan yang mulia. Jadi seharusnya pekerjaan tersebut dikerjakan dengan hati ikhlas.
Meskipun penghasilannya tidak seberapa. Meskipun resikonya besar. Hal tersebut disampaikan penulis mulai dari pengantar sampai beberapa bab berikutnya yang lebih banyak menjelaskan Nusakambangan secara hukum maupun non hukum.
Setelah menjelaskan Nusakambangan secara umum, inti yang ingin disampaikan penulis adalah tentang proses terpidana yang akan dieksekusi mati. Ini cerita yang benar-benar luput dari publik. Hampir kita tidak tahu bagaimana para petugas penjara menghadapi orang yang akan dihukum mati tersebut.
Termasuk bagaimana kondisi para terpidana mati nya. Kecakapan penulis membuat cerita tentang tahanan yang akan dihukum mati memang tidak sebaik penulis novel.
Tetapi dari beberapa kisah yang dituturtuliskannya terbilang mudah dipahami, menarik, mampu membuat kita terenyuh.
Sebut saja salah satu kisah JR, terpidana mati dari Palembang. Sebelum dieksekusi mati, JR telah mewasiatkan kepada penulis tentang pengurusan mayatnya sampai pemulangan jenazahnya.
“Bapak, kalau besok saya di eksekusi mati, saya ingin istri dan anak saya melihat jenazah saya untuk yang terakhir kalinya. Sudah sekian tahun mereka saya tinggalkan, tidak melihat wajah saya. Mohon bapak bisa bantu saya “. (hal. 45-55).
Sebelum dieksekusi regu tembak, JR memang akrab dengan penulis yang juga mengasuh pesantren At-Taubah Lapas Batu. Jauh sebelum vonis mati yang diterima terpidana, penulis mencoba mengajak para terpidana mati tersebut untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Penulis ingin mengatakan bahwa hukuman mati harus diterima sebagai konsekwensi hukum.
“Saya senang melihatnya sekaligus sedih ketika disuruh untuk menjemput JR dari dalam sel nya. Saya lihat ia tertidur pulas. Saya panggil dua kali. Dia tidak bergeming dan tidurnya sangat pulas. Dalam hati saya senang karena beliau sudah melupakan bahwa akan dihukum mati. Setelah panggilan ketiga ia baru bangun dan kemudian dengan tenang mengenakan pakaian yang harus dipakainya sebelum di eksekusi. Saya menemaninya sampai pengeksekusian terjadi,“ (hal.53)
Ada juga kisah seorang terpidana mati asal Nigeria yang memanggilnya ‘Papih’. Menurut penulis, ini karena kedekatan yang dibangun antara beliau sebagai petugas lapas dengan tahanan sebagai santri At-Taubah.
Cerita kisah ini tak kalah sedih dan menyayat hati kita. Sebagaimana sebelum dieksekusi, MA alias HB, terpidana mati medio 2015, sempat mengatakan kata-kata terakhirnya. Seperti yang di tuturkan penulis dalam catatannya,
“Saya memapahnya untuk duduk dekat dengan istrinya. Terlihat ia saling berpandangan dan kemudian menangis. Dia bercerita kepada istrinya kalau semalam ia bermimpi menjadi mayat dan dibungkus kain kafan putih. “ Baunya wangi, Papih “. Penulis menjawab semoga mimpimu menjadi perlambang yang baik, putih artinya suci, kamu harus pegang tauhid, pegang Islam biar khusnul khotimah. Kemudian MA alias HB berucap “ Papih jangan lupa rawat jenazah saya secara muslim dengan baik, antar jenazah saya ke istri saya di jakarta “.
Kemudian dengan istrinya ia berpesan “ Istriku...nanti kaau saya mati, kamu jangan pindah agama ya...Kalau kamu pindah agama, nanti di akhirat kelak kita tidak bisa bertemu dan bersama. Istrinya hanya bisa menunduk dengan mata yang berkaca-kaca (hal. 56-62).
Masih banyak lagi kisah yang dituliskan penulis dalam buku ini. Masih beberapa terpidana yang didampinginya sampai eksekusi sampai mengantarkan jenazahnya seperti permintaan dan wasiat yang diberikan kepadanya.
Ada juga kisah terpidana mati RAB, seorang perampok, pembunuh dan pemerkosa yang juga sempat membunuh salah satu tahanan korupsi di dalam lapas. RAB yang sadis kemudian beralih menjadi santri yang aktif sebelum dieksekusi.
“Pak Edi, tolong sampaikan Al Quran ini pada istri saya untuk kenang-kenangan anak saya. Bapak sendiri yang harus memberikannya ya “ (hal. 63-69).
Itulah beberapa penggal kisah yang dituturkan penulis. Ada lagi kisah lainnya baik terpidana mati maupun tidak.
Dan penulis yang pernah dikirim untuk belajar di Inggris ini sangat memahami bahwa kita tidak bisa melihat bahwa mereka yang pernah di tahan atau yang sudah di eksekusi, kita anggap selalu buruk.
Ada banyak perubahan yang terjadi. Penulis ingin menyampaikan bahwa terkadang bukanlah mereka tidak berubah setelah keluar dari penjara. Tetapi kadang yang membuat mereka kembali berbuat jahat adalah karena stigma yang diterima saat ia bebas.
Seolah pandangan negatif itu melekat terus. Dan itu terus menghantui mereka. Seharusnya mereka bisa diterima setelah bebas dari masa hukuman. Jangan menutup diri dan lain sebagainya.
Terima dengan tangan terbuka sekaligus menajamkan pertobatannya.
Di akhir cerita, karena background sebagai pegawai petugas penjara, penulis ingin menuturkan bahwa semua kerja yang dilakoni seharusnya dijalankan dengan ikhlas. Karena tugas itu sendiri menurutnya adalah ibadah.
Tidak ada yang perlu dikeluhkan dan tidak mudah tergoda dengan iming-iming apapun. Membangun tembok nurani menjadi penting sebagai benteng keteguhan hati (hal. 82-88). Itu yang akan menghantarkan kita pada kerja yang bermoral.
Seperti yang dilakukan penulis yang sudah tiga generasi menjadi pegawai lapas; bapak-ayah-anak, yang kini juga menjadi pegawai lapas di Nusakambangan.
Buku ini sangat menarik dibaca secara umum, mahasiswa maupun para pegawai, terutama pegawai lapas.
Karena disini penulis ingin berbagi cara menangani berbagai tahanan dengan pendekatan yang bersahaja, manusiawi dan mau mengerti keadaan para tahanan.
Penulis selalu yakin bahwa tahanan itu bukan orang yang terhukum tetapi orang yang perlu pembinaan.
Jadi perlu kiranya pendekatan tersebut dengan cara mengakrabkan diri pada mereka yang ditahan, dengar ceritanya dari hati ke hati, coba untuk mengerti seluk beluk maupun perasaan mereka dan selalu tanamkan keyakinan bahwa setiap manusia pasti punya sisi yang baik.
Itu hal yang luar biasa yang penulis ingin sampaikan. Dan hal itu layak ditiru dalam banyak hal, tidak saja bagi pegawai lapas.
Dan dengan cara penulisan yang apa adanya, buku ini justru sangat menarik dibaca karena orisinalitasnya yang tidak melebih-lebihkan kisah atau isi lainnya. (*)
Melki AS, Penggiat Sastra Suluh