TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR Komisi IX Siti Masrifah mengatakan peraturan tentang peredaran makanan dan minuman terutama untuk anak-anak sudah ada. Yang perlu diawasi dengan lebih ketat adalah penerapannya.
“Seperti halnya dengan susu kental manis, di seluruh dunia juga ada. Hanya saja, di Indonesia yang bermasalah adalah konten dalam beriklan dan berpromosi. Memang pada iklan terdapat banyak makanan lainnya, namun tetap ada bagian yang membangun persepsi masyarakat bahwa produk ini adalah susu untuk diminum sehari-hari. Dan kita tahu, masyarakat Indonesia kecenderungannya lebih percaya kepada iklan. Jika tidak diluruskan, ada semacam pembohongan melalui iklan,” papar Siti Masrifah saat acara Peringatan Hari Gizi Nasional 2018 Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Anak Indonesia Zaman Now yang digelar PP Muslimat NU bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Diketahui, WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20% atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6%. Sebanyak 18,5% kategori sangat pendek dan 17,1% kategori pendek.
Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah mencapai 16,9% dan terendah ada di Sumatera Utara dengan 7,2 persen.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal 32,9 % turun menjadi 28 % pada tahun 2019.
Untuk pengurangan angka stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.
Dr. Damayanti Rusli S, SpAK, Phd, anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP IDAI, mengatakan stunting disebabkan oleh mal nutrisi, yaitu kondisi anak kekurangan gizi atau kelebihan gizi.
Mal Nutrisi yang terjadi pada masa 1.000 hari pertama kelahiran dapat berdampak permanen terhadap anak. Anak yang terkena gizi buruk perkembangannya terhambat dan kemampuan kognitifnya berkurang 10%.
“Gizi buruk pada anak dimulai dari berat badan yang kurang yang terlihat pada masa 1.000 hari pertama kelahiran, Ibu harus peka untuk mendeteksi perubahan berat badan anak. Sebab, jika tidak segera di atasi, dapat mengakibatkan dampak yang permanen pada anak karena mengganggu perkembangan otak, saat dewasa, anak-anak dengan gizi buruk tidak dapat seproduktif anak-anak lainnya.” Jelas Damayanti.
Pencegahan gizi buruk harus dilakukan sejak dini, melalui ASI dan MPASI yang tepat untuk anak. Karbohidrat, lemak dan protein adalah 3 zat utama yang dibutuhkan anak untuk perkembangan otaknya.
“Ada kalanya ibu tidak bisa memberikan ASI yang cukup kepada anak atau ASI ibu kurang, maka anak dapat diberikan susu yang sudah di formulasi khusus untuk anak, yang dalam standar pembuatannya telah dinyatakan aman untuk anak, dalam hal ini mendapat izin edar dari BPOM. Susu kental manis, sudah mendapat izin edar dari BPOM, tapi produk ini bukan untuk anak. Susu kental manis adalah untuk bahan makanan. Jika diberikan kepada anak anak berbahaya,” paparnya.
Damayanti menyinggung ditemukannya balita yang menderita gizi buruk di Kendari, sehingga ia meminta agar ke depan produk makanan minuman yang bukan untuk bayi dan anak jangan dipasarkan untuk bayi dan anak. Tugas dari produsen adalah menjelaskan bagaimana pemakaian yang seharusnya kepada masyarakat.
“Kasus-kasus gizi buruk seperti ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah, namun di kota-kota besar seperti Jakarta juga banyak,” ujar Damayanti.
Prof. Dr. Dodik Briawan MCN, pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB menyampaikan intervensi gizi perlu dilakukan dalam bentuk edukasi secara berkesinambungan kepada masyarakat, terutama orang tua.
“Orang tua harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, tidak terpengaruh gaya hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak yang kadang menjanjikan hal yang berlebihan,” kata Dodik Briawan.
Berdasarkan catatan Bappenas, permasalahan gizi buruk meyebar di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan. Artinya, permasalahan stunting dan gizi buruk tidak hanya dialami masyarakat ekonomi lemah, namun juga masyarakat menengah ke. atas.
Penyebabnya adalah pemahaman masyarakat yang salah terkait kebutuhan nutrisi anak.