Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Puluhan batik peranakan mulai tahun 1850 hingga 1950 dipamerkan di Bentara Budaya, Jakarta mulai 15 Oktober hingga 18 Oktober mendatang.
Kain-kain batik peranakan tersebut adalah milik dua kolektor batik Frans Hartono dan Irwan Julianto.
Frans Hartono menyebutkan ada sekitar 39 batik peranakan miliknya yang ia pamerkan, dan yang paling lama adalah batik lasem buatan tahun 1850 dan batik tahun 1950.
Untuk batik milik Frans Hartono dipajang dibagian sisi kiri Bentara Budaya Jakarta.
Batik peranakan yang sudah berumur ratusan tersebut dipajang sesuai dengan daerah asalnya dan yang paling identik dari batik-batik tersebut adalah adanya sentuhan warna merah.
“Untuk kawasan pesisir warna batiknya lebih cerah merah ada cokelatnya juga, tapi ada juga yang memadukan warna biru tua,” kata Hartono saat ditemui di Bentara Budaya, Rabu (15/11/2018).
Pria yang mengoleksi batik peranakan mulai tahun 1983 itu pun menuturkan batik-batik tersebut bukan biasanya digunakan oleh peranakan Tiongkok kelas atas sehingga kualitasnya terjamin dan masih bagus.
“Yang saya pamerkan bukan kelas bawah tapi kelas atas atau untuk orang yang kaya tapi tetap untuk keturunan cina yang uangnya banyak, kualitasnya bagus,” ungkap Hartono.
Sementara itu, batik peranakan milik Irwan Julianto yang dipajang di bagian kiri Bentara Budaya Jakarta memiliki warna yang lebih cerah dan lebih banyak bermotiv bunga.
Irwan menjelaskan jika di kain batik tersebut ada lima warna berarti batik tersebut dicelup sebanyak lima kali, sehingga zaman dulu pembuatan batik bisa menghabiskan waktu lebih dari enam bulan.
“Ini yang kain tahun 1840 kalau ada lima atau enam warna berarti dicelup sebanyak itu yang lebih dari setengah tahun,” ujar Irwan.
Selain pameran batik peranakan, pada pameran tersebut juga diluncurkan buku ‘Peranakan Tionghoa Indonesia’ yang berisi budaya-budaya peninggalan dari Tionghoa.