TRIBUNNEWS.COM - Fenomena Gerhana Matahari Cincin akan menghiasi langit Indonesia, Kamis (25/12/2019) besok.
Umat Islam diimbau untuk melaksanakan shalat gerhana matahari secara berjemaah atau sendirian.
Menurut Plh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), pelaksanaan salat gerhana menyesuaikan waktu gerhana matahari di wilayah masing-masing.
Diperkirakan, awal gerhana terjadi pada pukul 10.34 WIB, puncak gerhana terjadi pukul 12.17 WIB, dan akhir gerhana pada pukul 14.00 WIB.
Setelah salat, Imam lantas menyampaikan khutbah kepada para jemaah yang berisi anjuran untuk berzikir, berdoa, beristighfar, sedekah, dan hal baik lainnya.
Tribunnews.com memberikan contoh naskah khutbah shalat Gerhana Matahari Cincin dari Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Selain menjadi Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin juga menjadi anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag.
Berikut naskah khutbah shalat Gerhana Matahari Cincin yang Tribunnews.com kutip dari laman blog milik Thomas Djamaluddin:
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS Yunus:5)."
Jamaah Rahimakumullah,
Rasulullah SAW hanya sekali melaksanakan shalat gerhana matahari. Itu terjadi pada 27 Januari 632, awal Dzuqaidah 10 H, empat bulan sebelum Rasulullah SAW wafat.
Saat itu terjadi gerhana matahari cincin yang melintasi bagian selatan Jazirah Arab. Di Madinah hanya terjadi gerhana matahari sebagian dengan kegelapan 77 persen.
Bayangkan suasana pagi itu di Madinah. Putra Rasulullah yang bernama Ibrahim wafat. Beberapa saat setelah matahari terbit mulailah terjadi gerhana.
Di langit timur terlihat matahari tidak sempurna bulatnya. Bagian atasnya tampak menghitam yang makin lama hampir menghilangkan seluruh bundaran matahari.
Orang-orang ketakutan dan mengaitkan gerhana matahari itu dengan wafatnya putra Rasulullah. Namun, Rasul membantahnya. Gerhana adalah tanda-tanda kekuasaan Allah.
Di dalam hadits Abu Burdah dari Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan peristiwa gerhana di Madinah:
“Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi SAW langsung berdiri terkejut dan merasa ketakutan kiamat akan datang. Beliau pergi ke masjid dan melakukan sholat yang panjang berdiri, ruku’, dan sujudnya.
Setelah itu Nabi bersabda, “Gerhana ini adalah tanda-tanda dari Allah, bukan disebabkan karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun gerhana ini terjadi supaya Allah menakuti hamba-hamba-Nya.
Apabila kalian melihat sesuatu dari gerhana, maka takutlah dan bersegeralah berdzikir kepada Allah, berdoa, dan memohon ampunan-Nya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Rasullah SAW mengajarkan tauhid, tidak mengaitkan fenomena gerhana dengan mitos. Gerhana bukan karena kematian atau kelahiran seseorang. Bukan pula karena matahari dimakan raksasa atau makhluk yang tak masuk akal.
Gerhana adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah-lah yang mencipkan matahari dan bulan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Setelah ilmu astronomi bertembang, diketahui bahwa gerhana matahari adalah bagian dari keteraturan sistem matahari-bulan-bumi. Bulan mengitari bumi, sementara bumi bersama bulan mengitari matahari.
Pada saat bulan tepat berada di antara matahari dan bumi, terjadilah gerhana. Peredaran bulan mengitari bumi seperti itu dengan perubahan ketampakan bentuk bulan digunakan untuk perhitungan kalender. Hal itu diungkapkan di dalam Al-Quran surat Yunus:5.
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS Yunus:5)."
Ayat itu juga mengisyaratkan, matahari dan bulan berbeda secara fisis. Matahari disebut dhiya’, bersinar. Sedangkan bulan disebut nuuran, bersinar.
Sains – astronomi mengungkapkan, matahari sesungguhnya sama dengan bintang-bintang lain. Ukurannya jauh lebih besar dari bumi, sekitar 1,3 juta kali besar bumi. Wujudnya berupa gas panas dengan reaksi nuklir di dalamnya.
Suhu di dalamnya puluhan juta derajat. Suhu permukaannya ribuan derajat. Dengan panas itu, matahari menghangatkan tata surya, termasuk bumi.
Bulan disebut bercahaya, lembut tidak menyilaukan dan tidak panas. Bulan hanya memantulkan cahaya matahari.
Karena perubahan posisinya selama mengitari bumi (manzilah), bentuknya tampak berubah. Dari sabit di awal bulan, menjadi setengah bundaran, dan purnama, lalu kembali mengecil sampai menjadi sabit kembali.
Perubahan bentuk yang periodik digunakan untuk penentuan perhitungan bulan. Selama bumi mengitari matahari selama setahun, 12 kali bulan mengitari bumi. Itu sebabnya satu tahun terdiri dari 12 bulan.
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah (QS 9:36"
Dengan keteraturan peredaran bulan mengitari bumi diperoleh konsep waktu bulanan. Di alam perubahan bulanan itu selaras dengan kalender qamariyah atau lunar calendar, seperti kalender hijriyah.
Dengan keteraturan peredaran bumi mengitari matahari diperoleh konsep waktu tahunan. Konsep tahunan juga tampak dengan perubahan musim secara periodik. Dari awal musim panas sampai musim panas berikutnya adalah periode satu tahun.
Demikian juga dengan musim-musim yang lain. Perubahan musim selaras dengan kalender syamsiah atau solar calender, seperti kalender internasional yang berlaku saat ini.
Perubahan musim secara periodik sesungguhnya disebabkan karena kemiringan sumbu rotasi bumi. Kemiringan tersebut menyebabkan perubahan pemanasan belahan utara dan belahan selatan secara periodik.
Kemiringan tersebut menyebabkan matahari tampak terbit dan terbenam berubah secara periodik. Pada saat belahan selatan bumi yang lebih banyak terpanasi pada akhir Desember, matahari tampak terbit dan terbenam paling selatan.
Pada saat belahan utara bumi yang lebih banyak terpanasi pada akhir Juni, matahari tampak terbit dan terbenam paling utara. Itulah yang disebut di dalam Al-Quran adanya dua timur dan dua barat, karena timur dan barat sering ditandai dengan terbit dan terbenamnya matahari.
"Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat. (QS 55:17)"
Dengan perubahan pemanasan belahan bumi itu, maka terjadi perubahan tekanan udara. Selanjutnya perbedaan tekanan udara menyebabkan aliran angin.
Kombinasi pemanasan dan aliran angin, maka daerah pembentukan awan bergeser. Itulah yang menyebabkan musim hujan ketika angin dari utara mendorong daerah pembentukan awan ke wilayah Indonesia.
Musim kemarau terjadi ketika angin bertiup dari selatan mendorong daerah pembentukan awan menjauhi wilayah Indonesia. Daerah sekitar ekuator akan mengalami dua kali musim hujan dan dua kali musim kemarau.
Jamaah Rahimakumulah,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran:190-191)."
Hanya ulil albaab (orang-orang yang berfikir dengan iman) yang mau merenungi ayat-ayat Allah di alam, seperti fenomena karena konfigurasi bumi – bulan – matahari yang tadi dipaparkan.
Allah menciptakan keteraturan itu sehingga manusia dapat mengambil manfaat untuk penentuan waktu serta pengaturan waktu untuk bertani dan kegiatan yang bergantung pada musim.
Tuhan Kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS Yaasiin: 37-40).
Walau tampak matahari dan bulan berjalan pada jalur yang sama sepanjang ekliptika, tidak mungkin keduanya bertabrakan atau saling mendekat secara fisik, karena orbitnya memang berbeda.
Perjumpaan bulan dan matahari saat gerhana matahari hanyalah ketampakannya, ketika matahari tampak terhalang oleh bulan yang berada di antara matahari dan bumi. Gerhana matahari telah menjadi bagian perkembangan ilmu hisab untuk mengkalibrasi perhitungan peredaran bulan, sehingga awal bulan qamariyah kini bisa dihitung makin akurat.
Gerhana matahari cincin yang sebentar lagi kita saksikan saat ini bisa dihitung secara cermat sampai detiknya. Ketampakannya seperti cincin pada puncak gerhana juga bisa diperkirakan karena jarak bumi bulan yang lebih jauh dari rata-ratanya.
Akibatnya bulan tampak lebih kecil dari ukuran piringan matahari. Sehingga piringan bulan hanya penutupi 94 persen piringan matahari, sisanya 6 persen tepian piringan matahari tampak seperti cincin.
Jamaah Rahimakumulah,
Sains menjelaskan fenomena yang sesungguhnya. Sains menghilangkan mitos dan meneguhkan keyakinan akan kekuasaan Allah. Gerhana kita ambil hikmahnya, bahwa Allah menunjukkan kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya dengan fenomena itu.
Keteraturan yang luar biasa yang Allah ciptakan memungkinkan manusia menghitung peredaran bulan untuk digunakan dalam perhitungan waktu dan digunakan untuk memprakirakan gerhana.
Mari kita buktikan, sebentar lagi matahari akan tertutup bagian tengahnya oleh bulan. Proses gerhana matahari cincin akan berlangung singkat namun ketampakan cincin cemerlang di langit sungguh mengagumkan. Subhanallah.
Jamaah Rahimakumulah,
Setelah kita melaksanakan shalat gerhana dan merenungi hikmah di balik itu, marilah kita akhiri khutbah ini dengan mohon ampunan dan mohon kekuatan untuk menjejaki kehidupan kita selanjutnya.
Selengkapnya, Anda bisa mengunduh atau membaca khutbah shalat Gerhana Matahari Cincin lewat link ini.
(Tribunnews.com/Sri Juliati)