TRIBUNNEWS.COM - Sebagai umat Muslim diwajibkan untuk membayar zakat bagi yang mampu.
Sementara sebagai warga negara, kita diwajibkan untuk membayar pajak sesuai dengan regulasi tertentu.
Keduanya memang sangat dekat dengan kehidupan kita, lantas lebih wajib mana antara bayar zakat atau pajak?
Terkait hal tersebut, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah IAIN Surakarta, Khasan Ubaidillah menjalaskan dalam program OASE Tribunnews.com bertajuk Sudah Bayar Zakat, Mengapa Masih Wajib Bayar Pajak? yang tayang pada Jumat (11/9/2020) pukul 16.00 WIB.
Khasan menjelaskan, dari sudut pandang sejarah pada masa awal Islam, zakat sudah berlaku dan dilaksanakan atas nama negara.
Baca: Sandiaga Uno Harap Pengelolaan Infaq dan Zakat Dioptimalkan
"Zakat pada tahap awal, memiliki fungsi salah satunya seperti fungsi membayar pajak pada masa itu," jelas Khasan.
Khasan menjelaskan, ketika telah masuk di Indonesia atau sebagian besar negara yang tidak menerapkan negara Islam maka kita diwajibkan untuk membayar pajak.
"Semua warga negara yang memiliki kewajiban pajak, wajib membayar pajak," jelasnya.
Sementara itu, Khasan menjelaskan bahwa di sisi yang lain kita juga disyariatkan untuk membayar zakat karena termasuk rukun Islam.
Terkait keberadaan kita sebagai warga negara dan umat beragama, Khasan mengambil satu pendapat dari pengurus PBNU KH Masdar Farid Mas’udi.
"Di Indonesia memiliki peluang untuk mensinergikan pembayaran zakat dengan pajak," ujarnya.
Baca: Sistem Wajib Zakat, Infaq dan Shodaqoh di Tengah Pandemi Corona
Khasan menegaskan, ini bisa terjadi jika memang ada kebijakan yang spesifik dari pemerintah.
Ia juga mengungkapkan jika pemerintah mau membuat aturan yang menjadikan zakat sebagai salah satu bagian dari pendapatan negara maka di saat bersamaan zakat ini dapat seiring berjalan dengan pembayaran pajak.
Menurut Khasan, secara formil, seseorang yang telah membayar zakat belum bisa dikatakan telah membayar pajak, begitu juga sebaliknya.
"Sebaiknya memang kita sebagai umat Islam menjalan syariat dengan baik, di sisi yang lain kita sebagai warga negara juga melaksanakan kewajibannya," jelasnya.
Khasan menjelaskan, pajak kita bayarkan dengan koridor yang telah ditentukan, di sisi lain kita bayarkan zakat sebagai kepatuhan terhadap agama.
Terkait keutamaan antara bayar pajak atau bayar zakat, Khasan mengatakan bahwa keduanya memiliki ketentuannya masing-masing.
Khasan mengambil contoh pada zakat profesi.
"Jika ada orang memiliki profesi tertentu dengan penghasilan atau aset jika ditotal dalam satu tahun (Haul) nilainya setara dengan minimal 85 gram emas."
"Maka dalam kondisi tersebut, haul-nya terpenuhi, satu nishob-nya terpenuhi, maka orang tersebut wajib mengeluarkan zakat profesi," jelasnya.
Baca: Mudahkan Pembayaran Zakat, Aplikasi Dana Gandeng Baznas dan Dompet Dhuafa
Khasan menambahkan, nilai zakat mal atau profesi setara dengan 2,5 persen dari total harta yang dimiliki.
Khasan menegaskan, zakat tersebut tidak bisa serta-merta disebut dengan pajak selama belum ada aturan terkait.
"Jika saja pemerintah mau membuat aturan yang mensinergikan antara pembayaran zakat dan pajak, ada yang berkeyakinan bahwa pendapatan negara akan tambah tinggi."
"Karena mayoritas umat Islam lebih ringan ketika harus membayarkan zakat," jelasnya.
Khasan mengandaikan jika zakat mal bisa dibayarkan kemudian diatur regulasinya dengan baik, pendapatannya akan lebih tinggi dari pajak yang harusnya diterima negara.
"Sampai hari ini belum ada aturan itu, mau tidak mau harus melaksanakan aturan yang sudah ada," ujarnya.
Khasan berharap kedepannya ada regulasi yang menjadikan zakat sebagai pendapatan negara.
Sehingga nantinya akan ada pihak yang mengatur zakat, bukan sekedar dari lembaga amil zakat namun justru diatur oleh negara.
"Ini bisa membuat pengumpulan zakat menjadi lebih masif," jelasnya.
(Tribunnews.com/Fajar)