Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para orang tua khususnya kaum ibu harus mengetahui bahwa periode emas (golden age) pada anak itu ketika anak berusia kurang dari 5 tahun.
Pada periode ini, pertumbuhan anak dapat terlihat secara bertahap. Otak, sensorik dan motoriknya pun akan mengalami perkembangan.
Umumnya, periode emas ini berlangsung saat bayi baru lahir hingga berusia 2 tahun.
Kendati demikian, usia bayi di bawah 5 tahun dianggap sebagai masa krusial pertumbuhan anak, baik untuk perkembangan otak, motorik, sensorik, hingga keseimbangan anak tersebut.
Terapis Wicara Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Rita Rahmawati, A.Md.TW.,S.Pd.,S.Tr.Kes.,MKM mengatakan bahwa penting bagi orang tua untuk terus memperhatikan dan menstimulasi anak agar potensi-potensi tersebut dapat berkembang secara normal.
Baca juga: Tips Hemat Belanja Perlengkapan Bayi
"Periode emas itu biasanya dimulai dari usia 5 tahun ke bawah ya, golden age, jadi itu jangan sampai terlewati, dan perkembangan-perkembangan itu terlewati sesuai dengan perkembangan psikomotorik, artinya gerakan-gerakan motorik yang memang anak itu harus lampaui," ujar Rita, dalam talkshow live Instagram @radiokesehatan, Kamis (8/4/2021).
Baca juga: Tips Menyajikan Telur dan Daging Ayam untuk Balita Supaya Terhindar dari Alergi
Ia kemudian menjelaskan, pada bayi yang baru saja lahir biasanya akan menangis jika merasa lapar.
Namun jika bayi tersebut tiba-tiba menangis tanpa sebab, hal itu perlu dicurigai.
Baca juga: Penanganan Bayi yang Dirawat di NICU Butuh Peran Orang Tua
"Jadi seperti misalnya kalau bayi, dia lapar minta sesuatu, dia hanya bisa menangis. Nah kalau misalnya anak itu menangis tiba-tiba nggak ada sebab atau apa, ya itu kita juga harus curiga," jelas Rita.
Kemudian pada tahapan perkembangan selanjutnya, bayi yang pertumbuhannya normal akan bisa mulai mengeluarkan beberapa suku kata untuk menunjukkan bahwa ia sedang merasa lapar.
"Nanti perkembangan berikutnya, bahwa dia minta sesuatu 'mah mamam', nah itu juga harus terlewati dengan baik," kata Rita.
Para orang tua harus mewaspadai terjadinya gangguan perkembangan pada bayi ketika usianya mulai memasuki tahun ke-2 atau bahkan tahun ke-3, namun belum bisa merangkak maupun hanya mampu mengucapkan beberapa kata.
Padahal umumnya, bayi berusia 18 bulan 24 bulan mampu menguasai 50 kata.
"Dan misalnya 'Bu, anak saya kok nggak merangkak ya?' tiba-tiba anak ini perkembangan bahasanya sudah umur 3 tahun, tapi dia baru bisa bilang 'mamah'."
"Sementara usia 1 tahun setengah sampai usia 2 tahun itu minimal 50 kata pada perbendaharaan katanya," tegas Rita.
Trik Tasya Kamila Hentikan Anaknya yang Masih Balita Suka Pukul Diri Sendiri Saat Marah
Tasya Kamila berbagi kisah tentang kehidupannya menjadi ibu seorang balita. Anaknya ini sedang hobi memukul dirinya sendiri saat marah.
Tasya Kamila pun mencari trik mengalihkan emosi putranya ini.
Hal itu disampaikan Tasya Kamila melalui unggahan di Instagram pribadinya pada Minggu (21/3/2021).
Baca juga: Yance Manusama dan Otti Jamalus Puji Musikalitas Anastasya Poetri
Baca juga: Tasya Kamila Tampak Beda Pasca 2 Bulan Diet, Ini Rahasia Istri Randi Bachtiar Agar Terlihat Kurus
Dalam unggahannya, Tasya Kamila menunjukkan reaksi sang putra yang ketika marah sering meluapkannya dengan memukul dirinya sendiri.
"Life with a toddler Arr sama kok sama Batita yang lain, punya beragaaam emosi yang besar, yang di usianya emang mereka tunjukkan dengan aksi fisik," tulis Tasya Kamila, Selasa (23/3/2021).
Istri Randy Bachriar ini pelan-pelan mengajari putranya untuk menghilangkan kebiasaannya itu dengan mengalihkan ke benda-benda lain.
"Kita lagi sama-sama berlatih nih gimana caranya supaya kalau Arr marah nggak mukul-mukul (baik dirinya atau orang lain).
Aku jelasin ke Arr kalau marah bolehnya pukul bantal / sofa aja, pelan-pelan dia udah mulai bisa nahan diri (kalau inget)," sambung Tasya Kamila.
Tak hanya itu, Tasya Kamila meminta saran dan tips dari masyarakat bagaimana menghadapi balita di fase ini.
"Beginilah hari-hariku sebagai Mom of a toddler, ada tips-tips ngga nih bunddd supaya mamanya sabar menghadapi Arr yg lagi hobi marah-marah?" kata Tasya Kamila.
Ketua Umum PP IBI : Kental Manis Tak Cocok Dikonsumsi Balita
Upaya penanggulangan stunting harus dimulai jauh ke belakang, yaitu dengan memberi perhatian pada kesehatan remaja dan terutama calon ibu.
Sebab stunting bukan hanya persoalan saat anak mengalami persoalan gizi. Pencegahan stunting harus diawali dengan memastikan calon ibu benar-benar siap menghadapi 1000 HPK.
Ketua Umum PP Ikatan Bidan Indonesia Dr. Emi Nurjasman M.Kes, mengingatkan kepada bidan yang melakukan pemeriksaan kandungan ibu hamil, informasi-informasi tersebut harus disampaikan secara komprehensif.
“Pola hidup, pola makan, dan juga nutrisi yang sebaiknya dikonsumsi ataupun yang harus dihindari oleh ibu dan bayi,” kata Emi dalam keterangannya, Senin (22/3/2021).
Emi juga meminta hasil penelitian YAICI bersama PP Aisyisiyah mengenai konsumsi kental manis pada balita untuk dapat dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait lainnya, agar ke depannya dapat mengeluarkan rekomendasi.
“Kita tahu konsumsi kental manis oleh balita itu tidak tepat karena itu perlu direkomendasikan, bisa saja nanti ada tambahan larangan kental manis tidak untuk dikonsumsi balita, serta di dalam kemasan harus ada warning juga,” kata Emi Nurjasman.
Baca juga: Geger Kambing Baru Lahir Bermata Satu, Tak Bisa Berjalan dan Hanya Minum Susu Botol
Perkembangan kesehatan saat remaja sangat menentukan kualitas seseorang untuk menjadi individu dewasa.
Masalah gizi yang terjadi pada masa remaja akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit di usia dewasa serta berisiko melahirkan generasi yang bermasalah gizi.
Merujuk pada Riskesdas tahun 2018, sekitar 65% remaja tidak sarapan, 97% kurang mengonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik serta konsumsi gula, garam dan lemak (GGL) berlebihan.
Pola konsumsi dan kebiasaan yang tidak baik tersebut mengakibatkan tingginya angka anemia pada remaja, yaitu 3 dari 10 remaja mengalami anemia.
Anemia pada remaja akan menyebabkan timbulnya masalah kesehatan seperti penyakit tidak menular, produktivitas dan prestasi menurun, termasuk masalah kesuburan.
Karena itu, edukasi gizi menjadi penting, tidak hanya untuk ibu tapi juga remaja, milenial dan para calon orangtua.
Baca juga: Efek Samping Rutin Minum Kental Manis Pada Anak
Hal ini juga sejalan dengan data UNICEF pada 2017, bahwa adanya perubahan pola makan seperti kenaikan konsumsi makanan tidak sehat seperti jenis makanan instan dan juga makanan tinggi kandungan GGL.
Dampaknya adalah, kebiasaan ini menjadikan calon ibu tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup pada saat menjadi ibu.
Maka tidak heran, hingga saat ini masih banyak ditemukan balita mengkonsumsi makanan instan sebagai asupan makanan sehari-hari.
Tak hanya itu, konsumsi kental manis sebagai minuman susu oleh balita bahkan bayi pun masih jamak ditemukan dengan frekwensi yang cukup tinggi 2 hingga 8 gelas per hari.
Padahal kental manis bukanlah minuman untuk dikonsumsi anak mengingat kandungan gulanya yang cukup tinggi.
Sebelumnya YAICI bersama PP Aisyiyah telah melakukan penelitian mengenai konsumsi kental manis pada balita di beberapa wilayah di Indonesia.
Penelitian dilakukan pada 2020 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT dan Maluku.
Dari penelitian ditemukan 28,96% dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan, dan sebanyak 16,97% ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.
Dari hasil penelitian juga ditemukan sumber kesalahan persepsi ibu, dimana sebanyak 48% ibu mengakui mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak adalah dari media, baik TV, majalah/ koran dan juga sosial media dan 16,5% mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan.
Temuan menarik lainnya adalah, kategori usia yang paling banyak mengkonsumsi kental manis adalah usia 3 – 4 tahun sebanyak 26,1%, menyusul anak usia 2 – 3 tahun sebanyak 23,9%.
Sementara konsumsi kental manis oleh anak usia 1 – 2 tahun sebanyak 9,5%, usia 4-5 tahun sebanyak 15,8% dan 6,9% anak usia 5 tahun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.
Dilihat dari kecukupan gizi, 13,4% anak yang mengkonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7% berada pada kategori gizi kurang dan 35,2% adalah anak dengan gizi lebih.
“Dari masih tingginya persentase ibu yang belum mengetahui penggunaan kental manis, terlihat bahwa memang informasi dan sosialisasi tentang produk kental manis ini belum merata, bahkan di ibu kota sekalipun,” jelas Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat.