Syawqie melanjutkan pemerintah bisa mengikuti jejak Inggris, Jepang, dan Selandia Baru yang sudah lebih dulu mendorong penggunaan produk tembakau alternatif untuk menekan jumlah perokok dewasa aktif.
“Jika produk ini dianggap lebih berbahaya dari rokok, seharusnya negara-negara tersebut tidak mendayagunakannya dalam mengatasi epidemi kebiasaan merokok.
Itu membuktikan bahwa produk tembakau alternatif dijadikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,” tegasnya.
Kepercayaan negara-negara tersebut terhadap produk tembakau alternatif setelah mempertimbangkan sejumlah kajian ilmiah, salah satunya adalah riset yang dilakukan badan eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England, yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018” yang baru-baru ini kembali diperbaharui. Riset tersebut menyatakan bahwa profil risiko produk tembakau alternatif 95% lebih rendah daripada rokok.
“Kajian ilmiah produk tembakau alternatif di Indonesia sampai saat ini masih minim sehingga pemerintah pun belum berani untuk memanfaatkan produk ini dalam mengatasi epidemi merokok.
Kajian ilmiah di dalam negeri harus diperbanyak agar memberikan informasi yang menyeluruh kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan mengenai potensi dari produk tembakau alternatif,” kata Syawqie.