TRIBUNNEWS.COM - Pernah ngak sih kamu mengalami saat-saat di mana rasanya pekerjaan/tugas seperti tidak ada habisnya?
Belum selesai yang satu, sudah datang tugas yang lain, dan begitu seterusnya. Hingga rasanya 24 jam dalam sehari itu tidaklah cukup.
Kalau kamu sedang merasakan hal ini, waspadalah! Jangan biarkan tugas/pekerjaan membuat kamu kehilangan waktu untuk beristirahat.
Baca juga: Diramaikan Dai Kondang Hingga Komika Nasional, 20 Ribu Alquran Disalurkan ke Aceh
Baca juga: Merayakan Hari Literasi Internasional, Rekomendasi Seri Buku Cerita Mamah Muda
Jangan sampai kamu memaksakan diri untuk bekerja terus-menerus bahkan masih memikirkan pekerjaan saat hendak tidur. Kenapa?
Karena jika dibiarkan, kamu bisa mengalami burn out syndrome.
Apa itu burn out syndrome?
Burn out syndrome adalah suatu kondisi akibat kelelahan yang amat sangat, baik fisik maupun emosi, disebabkan terlalu banyaknya bekerja.
Baca juga: Mengajak Anak Keliling Indonesia Hanya dengan Satu Buku
Baca juga: Ayah Bunda, Mengurus Anak Tak Harus Ribet, Santuy Saja, Yuk Intip Triknya di Buku Ini
Lalu, apa efek dari burn out syndrome ini? Menurut Choi Myung Gi, seorang psikolog, yang ditulis dalam Buku Antimalas dan Suka Menunda,
“Kondisi burn out tidak serta-merta terjadi karena kita merasa pekerjaan yang diberikan terlalu banyak atau sulit.
Saat pekerjaan berlanjut tiada henti, akan muncul rasa ragu bahwa Anda benar-benar bisa melakukannya dengan baik.
Hasilnya? Tentu saja semua pekerjaan itu tidak terlaksana dengan baik.
Lalu muncullah pemikiran, ‘Ah, rasanya mau kutinggalkan saja semua ini.’ Andai bisa, Anda pun akan langsung melarikan diri ke suatu tempat.
Tak hanya itu, kadang kala rasa kesal juga muncul tanpa sebab.
Rasanya ingin memukul seseorang yang membuat diri Anda terjatuh dalam kesulitan seperti ini, bahkan sampai muncul ide ekstrem untuk bunuh diri karena tidak bisa menemukan jalan keluar.”
Gejala burn out syndrome
Menurut Choi Myung Gi, gejala-gejala yang timbul saat seseorang mengalami burn out syndrome seperti berikut ini.
Saat hendak melakukan sesuatu, langsung terbayang kondisi terburuk yang akan terjadi. Hal ini disebut “sinisterisasi”.
Lalu, dalam kondisi putus asa, kita akan berpendapat bahwa pasti ada alasannya sehingga tidak dapat melakukan apa pun. Ini disebut “rasionalisasi”.
Pada saat yang sama, kita juga akan menyebut diri kita “bodoh”, “dungu”, dan “bawa sial”. Ini disebut “penamaan diri”.
Saat proses pemikiran tersebut terjadi di kepala kita, lambat laun kita akan merasa terasing dan akhirnya membuat kita kehilangan rasa percaya diri.
Lalu muncullah depresi yang membuat kita tidak bisa bekerja karena merasa kesal.
Perilaku inilah yang akan dilihat oleh orang-orang di sekitar kita sebagai bentuk kemalasan. Padahal, menurut Choi Myung Gi, kondisi ini justru jauh lebih berbahaya daripada kemalasan, dan sangat membutuhkan perawatan.
Burn out sebagai akar penyebab kemalasan
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa yang membuat malas tidak selalu karena kita pemalas atau suka bermalas-malasan.
Bisa jadi rasa malas itu timbul karena kita mengalami depresi akibat burn out syndrome, yang disebabkan terlalu memforsir diri untuk menyelesaikan pekerjaan/tugas.
Choi Myung Gi juga menjelaskan bahwa ternyata ada banyak akar permasalahan yang menyebabkan seseorang menjadi malas, di antaranya karena rasa cemas, kehilangan hasrat, kemarahan, terlalu sensitif, kesepian, merasa tidak puas, kurangnya motivasi, dan banyak lagi.
Oleh karena itu, jika ingin menghilangkan/mengatasi kemalasan, kita harus tahu terlebih dahulu akar permasalahan dari rasa malas kita.
Bagaimana caranya? Nah, kamu bisa mencari tahu detailnya lewat Buku Antimalas dan Suka Menunda karya Choi Myung Gi.
Di dalam buku ini tidak hanya menjelaskan tentang kemalasan, tetapi juga terdapat kiat dan solusi untuk mengatasinya.
Yuk cari buku Gramedia di Gramedia.com.
(Mursyidah – Editor Penerbit BIP)