Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dokter Hasto Wardoyo menyinggung kondisi kesehatan mental remaja.
Pihaknya menyoroti, dua faktor utama yang menyebabkan kesehatan mental remaja kian mengkhawatirkan.
Pertama, banyaknya fenomena perceraian yang menghasilkan keluarga ‘broken home’ sehingga anak tidak mendapatkan kasih sayang utuh dari orangtua.
“Konflik di dalam rumah tangga apabila diselesaikan dengan logika itu berat, hasilnya pasti kacau. Tapi harus diselesaikan dengan perasaan,” kata dia saat membuka kegiatan Kelas Orang Tua BERSAHAJA (Bersahabat dengan Remaja) via daring pada Kamis (14/3/2024).
Meski demikian, adapula anak-anak dari keluarga harmonis yanf bisa merasa terlantar dan tidak mendapat kasih sayang.
“Mereka silent, orangtua tidak tahu, jumlahnya cukup besar dan kondisi (mentalnya) memprihatinkan,” papar Dokter Hasto.
Tapi secara umum, keluarga yang harmonis akan menghasilkan anak yang baik dan tidak lemah.
Baca juga: Menggali Dampak Psikologis dan Kesehatan Mental dari Puasa Ramadan
"Orangtua yang banyak bercerai tadi, ketika kita analisis 70 persen penyebabnya adalah masalah kecil yang mereka tidak bisa memaklumi,” kata Dokter Hasto.
Kedua, masalah ekonomi serta faktor hadirnya pihak ke tiga.
Ketika didalami, berawal dari masalah kecil berkembang menjadi kronis.
“Sebagai kepala rumah tangga harus lebih dewasa bisa menahan emosi dan istri juga bisa memaklumi,“ kata Dokter Hasto.
Ditambahkan Direktur Bina Ketahanan Remaja Dr. Edi Setiawan, membagi peran penting remaja dalam tiga aspek perlu dilakukan.
Pertama, sebagai calon penduduk usia produktif dan calon aktor pembangunan yang harus berkualitas. Kedua, sebagai calon pasangan yang akan membangun keluarga berkualitas. Ketiga, sebagai calon orangtua yang akan melahirkan SDM yang juga harus berkualitas.
Oleh karena itu, menurut Edi, BKKBN berupaya memastikan remaja-remaja di Indonesia mampu menyiapkan diri agar memiliki perencanaan dalam mempersiapkan dan melewati lima transisi kehidupan remaja.
Meliputi, mempraktekan hidup sehat, melanjutkan pendidikan, memulai mencari pekerjaan, menjadi anggota masyarakat yang baik, serta memulai kehidupan keluarga.
"Karena berbeda generasi, sehingga masalah komunikasi acapkali terjadi,” ujar Edi.
Disebutkannya, tantangan orangtua dalam membimbing remaja dalam bidang akademik dan pendidikan seksualitas adalah faktor-faktor yang ikut memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter remaja.
“Orang tua yang memiliki remaja perlu membekali diri dengan terus meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi permasalahan tersebut,” ungkap dia.