TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemerintah pada tahun 2022 sudah mengeluarkan PP Nomor 24/2022 tentang ekonomi kreatif yang dalam Pasal 10 menyatakan bahwa kekayaan intelektual bisa dijadikan objek jaminan sepanjang tercatat atau terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
Namun pada kenyataanya peraturan tersebut belum sepenuhnya direalisasikan.
Hal itu menjadi sorotan notaris Dr Dewi Tenty dalam diskusi Kelompok Notaris Pendengar, Pembaca dan Pemikir (Kelompencapir) dengan tema “Film Sebagai Jaminan Pembiayaan Perbankan” di Hotel Royal Kuningan, Kamis 22/08/2024.
Dewi Tenty menyampaikan industri film sebagai lokomotif industri kreatif masih banyak memiliki pekerjaan rumah.
Negara harus hadir dan berperan aktif dalam mengatur dan mengembangkan industri perfilman.
“Pemerintah harus aktif ikut terlibat dalam mengembangkan industri film, industri ini tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada intervensi kebijakan,”ujarnya.
Seperti halnya di Korea Selatan yang perekonomiannya ditopang oleh industri kreatif salah satunya adalah film.
Pentingnya Kemudahan Pembiayaan
Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM RI, Cahyo Rahadian Muzhar yang menjadi keynote speech menyampaikan bahwa pengaturan penjaminan pembiayaan yang berkualitas menjadi salah satu indikator yang dapat diperhitungkan dalam mengukur tingkat kemudahan berusaha dan pertumbuhan perekonomian nasional.
“Konsep jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum,”jelasnya.
Pemerintah menyadari pentingnya kemudahan pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga penjaminan, khususnya pembiayaan melalui jaminan fidusia.
Baca juga: 10 Tahun di Dunia Musik, Nowela Bersyukur Akhirnya Bisa Debut Main Film
Menurut Cahyo, jaminan fidusia menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang sangat mudah dilakukan oleh masyarakat. Karena mengatur penjaminan dengan objek jaminan berupa benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Potensi perfilman Indonesia tidak bisa diremehkan
Sementara Rano Karno, anggota komisi X DPR RI yang juga aktor terkenal Indonesia mengatakan potensi perfilman Indonesia tidak bisa diremehkan, sebagai contoh film terlaris Indonesia di urutan pertama yakni film KKN di Desa penari berhasil meraih lebih dari 10 juta penonton, jika diestimasikan maka menghasilkan pendapatan sekitar 211 Miliar.
“Maka film seharusnya mendapat tempat penting karena selain dapat mendorong perekonomian dan pariwisata juga bisa sebagai kolaborator dan corong dari kebijakan pemerintah,” jelasnya.
Pernyataan menarik disampaikan oleh Agung Sentausa, Ketua Asosiasi Sutradara Film Indonesia (IFDC), yang menyampaikan ketika film dibuat maka ada perencanaan, berupa proyeksi, business plan, pembiayaan dan semua aspek bisnisnya, sampai akhirnya diproduksi film tersebut.
“Aktor dan artis menjadi daya tarik dan menjadi kunci terhadap finansial sebuah film,” tuturnya.
Dari sisi Hak Cipta, Dr. Marni Emmy Mustafa, Majelis Pengawas Konsultan Kekayaan Intelektual (MPKKI) menyampaikan yang harus diperhatikan dalam suatu Hak Cipta supaya aman dalam penjaminan pembiayaan, maka pemilik film harus mendaftarkan karya sinematografinya ke Dirjen Kekayaan Intelektual, pendaftaran tersebut diatur dalam UUHC Pasal 66, Sertifikat Hak Cipta Film sebagai bukti otentik sampai dibuktikan.
“Sehingga bila telah dipenuhinya syarat untuk mendapat pembiayaan jaminan pada bank seperti bukti hak cipta film, surat catatan penciptaan, sertifikat, maka film bisa mendapatkan pembiayaan jaminan film,”jelasnya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Anggota VII BPK RI Rabin Indrajid Hattari mengatakan sumber pendanaan film di Indonesia ada 4.
Sumber tersebut adalah pendanaan tradisional, pinjaman lembaga keuangan, pendanaan startup dan pendanaan pasar modal. Di Indonesia pendanaan yang paling sering dipakai adalah pendanaan tradisional yang berasal dari dana pribadi, dana keluarga atau pinjaman dengan sistem profit sharing atau bagi hasil dengan suku bunga tinggi dan tanpa jaminan
“Untuk memperoleh pendanaan dari Bank penting untuk Perusahaan film merapikan data-data internal seperti laporan keuangan yang mengikuti peraturan,” jelasnya.
Perbankan sendiri sebenarnya memiliki keinginan untuk memperluas opsi pembiayaan. Hal tersebut disampaikan oleh Asa Estheria Vipana, Legal Group Bank Mandiri. Namun Bank juga harus menerapkan asas kehati-hatian dalam pemberian kredit mengikuti peraturan yang berlaku.
“Dalam hal film akan dijadikan agunan utama maka debitur harus memenuhi kriteria agunan, dalam hal ini apakah hak cipta atas film dapat dinilai dengan uang? Bagi Bank sesuatu yang dapat diikat secara yuridis harus diketahui nilainya,” jelasnya.
Bintang film senior, Christine Hakim menambahkan mengapresiasi diadakannya diskusi tersebut dan berharap menjadi awal kepedulian pemerintah dan masyarakat akan pembiayaan untuk perfilman.
Diskusi menyimpulkan bahwa masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk mensupport pembiayaan perbankan, namun yang terpenting adalah adanya suatu nilai dari karya cipta.
Adanya amanah dalam PP 24 tahun 2022 perlu untuk dibuat peraturan turunan supaya bank dan lembaga keuangan merasa yakin dan terjamin keamanannya memberikan pembiayaan dengan jaminan hak cipta; dimulai dengan adanya kepastian nilai dari hak cipta ; oleh karenanya diperlukan suatu lembaga penilai independen yang dapat bertindak sebagai apraisal/kurator dari suatu karya cipta.