News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Video Asusila Guru-Murid Gorontalo, Psikolog Singgung Soal Child Grooming

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi child grooming - Media sosial beberapa waktu lalu dihebohkan dengan beredarnya video tak senonoh antara guru dan murid di Gorontalo.  Masyarakat di media sosial pun banyak memberi komentar jika tindak asusila ini dilakukan suka sama suka yang membuat psikolog dan seksolog klinis Zoya Amirin M. Psi.,FIAS singgung soal child grooming

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Media sosial beberapa waktu lalu dihebohkan dengan beredarnya video tak senonoh antara guru dan murid di Gorontalo. 

Masyarakat di media sosial pun banyak memberi komentar jika tindak asusila ini dilakukan suka sama suka. 

Warga beranggapan murid berinisial PTT ini 'suka' melakukan tindakan tersebut bersama pelaku, yaitu gurunya, DV (57). 

Terkait hal ini Psikolog dan seksolog klinis Zoya Amirin M. Psi.,FIAS singgung soal child grooming.

Child grooming sendiri adalah upaya membangun hubungan emosional dengan anak atau remaja untuk mengeksploitasi mereka.

Eksploitasi ini seringkali berupa pelecehan seksual.  

Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, seperti guru, pelatih olahraga, hingga orang asing.

Baca juga: Ketahui Child Grooming, Modus Pelaku Kekerasan Seksual

"Untuk melakukan semacam grooming. Itu kita memanipulasi orang untuk mendapatkan hal-hal seksualitas yang kita mau," ungkapnya pada Kemencast #98 di kanal YouTube Kementerian Kesehatan, Selasa (8/10/2024).

Apalagi perlu diingatkan bahwa sampai usia 18 tahun, anak tidak bisa memberi persetujuan tanpa adanya peran dari orang tua. 

Artinya, semua keputusannya itu harus berdasarkan pada orang tua. 

"Makanya, kalau misalnya ada anak yang kabur. Mereka kan sama-sama cinta. Umurnya berapa, 15 tahun? Dia tidak bisa. Itu masih di dalam tanggung jawab orang tuanya.

Anak (belum) tidak bisa dianggap bisa membuat keputusan secara hukum," lanjutnya. 

Menurut Zoya, pelaku yang biasanya merupakan orang dewasa harus tahu jika tidak boleh memanfaatkan anak di bawah umur. 

"Kita harus memberitahu ke orang-orang. Seperti kasus siswi Gorontalo. Ini banyak sekali kecaman. Jadi membuat si anak perempuan ini mengalami reviktimisasi," tegasnya. 

Reviktimisasi adalah kondisi ketika seseorang menjadi korban kembali atau berulang.

Selain child grooming, Zoya juga menyinggung soal adanya relasi kuasa di dalam kasus ini. 

"Ada relasi kuasa. Ini dari guru. Takutlah dia. Tapi kok kayaknya jago banget. Kenapa orang berasumsi dia sudah pasti menikmati itu?Mau dia menikmati atau apa pun, sebagai orang dewasa, harusnya tidak memanfaatkan anak di bawah umur," tegasnya. 

Apa lagi saat masih remaja, Prefrontal cortex (PFC) atau korteks prefrontal belum berkembang sempurna. 

PFC adalah bagian otak yang berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif dan kognisi tingkat tinggi.

Zoya pun mencontohkan kasus siswi Gorontalo dengan film di tahun 1997 berjudul Lolita.

Di mana Lolita yang masih berada di usia anak, mengalami child grooming dari ayah tirinya. 

"Seolah-olah memberikan kasih sayang dari ayah tiri. Dia sampai menikahi ibunya si Lolita. Demi untuk mendekati si Lolita ini. Serem kan?" Lanjutnya. 

Zoya menekankan bahwa kasus kekerasan seksual terjadi karena ada niatan dari pelakunya sehingga masyarakat diminta untuk berhenti melanggengkan budaya menyalahkan korban. 

"Para korban harus cepat untuk mencari bantuan dan anak-anak yang kena grooming harus benar-benar mau ngelapor ke orangtuanya," pungkas Zoya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini