Namun menurut Pangi hal ini tidak bisa disamaratakan.
"Kasusnya, misalnya PDIP dan PKS lebih cenderung yang menonjol pengaruh DNA partai ketimbang pengaruh kandidasi figur calonnya di dalam memutuskan pilihan politiknya, artinya party effect lebih menonjol daripada person effect," ungkapnya.
Baca juga: Tolak Proporsional Tertutup, Airlangga Tegaskan Tak Ingin Demokrasi Mundur
4. Sistem Pemilu proporsional terbuka dinilai menyebabkan alasan rendahnya party-ID.
Menurut Pangi, hanya sebesar 13.2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.
"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah," ungkapnya.
Lanjut Pangi, Party-ID yang tinggi juga bisa menyebabkan turunnya perilaku pemilih vote buying atau money politics.
Sistem proporsional terbuka dinilai Pangi menjadi salah satu penyebab suburnya tradisi politik transaksional dan pragmatisme dalam politik.
"Oleh karena itu, sistem proporsional terbuka lebih mengandalkalkan uang, money politik tumbuh subur."
"Proporsional tertutup bisa menakan money politic atau vote buying di tengah masyarakat yang kian makin transaksional dan pragmatis, memilih karena basis alasan uangnya bukan karena basis prestasi, kinerja dan trace record calon," urainya.
5. Sistem Pemilu proporsional terbuka dinilai juga menyebabkan tingginya split ticket voting, tidak tegak lurus atau beririsan antara pilihan partai dan pilihan presiden.
"Fenomena split ticket voting adalah bentuk dari kegagalan partai politik di dalam mengelola isu dan program, kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap keinginan partai."
"Kecenderungan pemilih lari kepada calon lain yang justru tidak diendorse oleh partainya, akibat rendahnya party-ID menyebabkan pemilih tidak taat kepada partainya," ungkap Pangi.
6. Sistem Pemilu proporsional terbuka cenderung merusak sistem meritokrasi parpol, melemahkan proses kaderisasi partai.
"Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg, dapat nomor urut cantik lagi."