Dengan model demokrasi begini, Fahri menyebut, pertarungan dalam memilih pemimpin itu bukan soal adu gagasan, tapi adu logistik.
Karena itu, lanjut dia, harus dipikirkan secara serius bagaimana caranya membiayai yang mahal di dalam demokrasi ini, supaya biaya mahal itu justru tidak menjadi sumber korupsi.
Baca juga: Tegak Lurus dengan Megawati, Jokowi Diyakni Tetap Dukung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024
Menurut dia, regulasinya yang masih tanggung harus disempurnakan, juga regulasi-regulasi lain yang berkaitan dengan pembiayaannya sendiri.
Sebetulnya ada tiga cara pembiayaan, yakni 100 persen dibiayai negara, dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya dibiayai pasar dan pembiayaan dengan sistem hibryd.
Pembiayaan yang dibiayai 100 persen oleh negara, Fahri menyebut seperti yang tengah dirancang Parlemen Malaysia yang tengah memulai pembahasan tentang pembiayaan 100 persen oleh negara, karena mereka mulai khawatir keterlibatan dari tim dirty money dan ilegal money ke dalam pemilihan di pemilu dan partai politik.
Masih menurut Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 ini, adalah yang ekstrem lagi dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Baca juga: Besok Siang PDIP dan PPP Bakal Bertemu, Ini yang Akan Dibahas
Tetapi tentunya harus ada regulasi yang ketat agar dana yang dikumpulkan untuk kegiatan pemilu, tidak boleh jatuh kepada pembiayaan pribadi.
"Sedang pembiayaan Dengan sistem hibryd, sepertinya kita ingin memakai ini, tapi regulasinya itu tidak ketat sehingga pelibatan uang ilegal di dalam pemilu di kita itu masih terlalu ketat, terutama yang tidak disadari adalah pembiayaan pemilu berbasis kepada uang pribadi," ucapnya.
"Sehingga dalam pemilu kita itu sebenarnya fighting between kandidat itu atau pertarungan antar kandidat, lebih merupakan pertarungan pribadi yang lama-lama kemudian orang menyadari bahwa karena kita gagal agregasi politik gagasan di dalam pemilu, akhirnya orang lari kepada politik uang politik logistik gitu," tandasnya.