TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah bakal calon baik presiden maupun wakil presiden sudah mulai mencuri start kampanye dengan melontarkan janji-janji politik jika terpilih di Pilpres 2024.
Sebut saja bacapres PDIP Ganjar Pranowo yang melontarkan janji menaikkan gaji guru hingga Rp30 juta jika terpilih.
Ada juga Ketua Umum PKB yang juga cawapres Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang berjanji menaikkan dana desa hingga Rp5 miliar, serta memurahkan BBM untuk angkot dan motor.
Tak ketinggalan, bacapres Gerindra Prabowo Subianto melontarkan janji manis menggratiskan makan siang dan susu bagi pelajar, serta membangun lumbung pangan di rawa.
Melihat rentetan janji manis ini, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menyebut hal itu tak sebatas dari praktik jualan janji politik yang kecil kemungkinan direalisasikan.
Sempitnya kemungkinan janji tersebut terealisai lantaran para capres dan cawapres yang mengumbar adalah orang dalam koalisi pemerintahan, dan orang dekat Presiden Joko Widodo.
Sehingga patut dipertanyakan mengapa janji politik itu tidak diajukan ke presiden yang sudah dua periode menjabat, tapi justru diumbar saat hendak menjadi capres atau cawapres.
"Kenapa harus nunggu jadi calon presiden? Ini menurut saya paradoks, satu sisi mereka adalah orang dalam, tapi di saat bersamaan mereka dalam tanda kutip hanya terkesan menyampaikan ke publik sebagai narasi politik mereka pemimpin pro rakyat," kata Adi dalam tayangan Kompas TV, Rabu (13/9/2023).
Baca juga: Prabowo Janji Suntik Rp400 T Program Makan Gratis Jika Jadi Presiden, Gerindra: Negara Kita Kaya Kok
Adi pun menegaskan jika mereka yang berbicara adalah kubu oposisi dan tak terafiliasi pemerintahan, maka janji itu bisa dianggap sebagai terobosan.
Namun jika tumpukan janji itu datang dari dalam koalisi pemerintahan Jokowi dan dari partai yang cukup dekat dengan presiden, maka janji itu tak lebih dari jualan politik atau lip service.
"Kalau bicara ini itu adalah kubu oposisi, tidak terafiliasi dengan pemerintah, saya kira mungkin dianggap sebagai terobosan yang layak diperhatikan," kata Adi.
"Tapi karena yang bicara orang dalam, menjadi koalisi Jokowi, partai yang cukup dekat dan bisa bisik langsung dengan presiden, ya orang menganggap ini sebatas lip service, jualan janji politik," pungkas dia.