TRIBUNNEWS.COM - Tiga mahasiswa dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar kampus dan fasilitas pemerintah tidak menjadi lokasi kampanye.
Adapun ketiga mahasiswa yang menjadi pemohon itu yaitu M Syeh Sultan dari IAIN Cirebon, Fahrurozi dari UIN Jakarta, dan Tri Rahma Dona dari UIN Lampung dalam nomor perkara 124/PUU/PAN.MK/AP3/09/2023 tertanggal 12 September 2023.
Dalam petitumnya, para pemohon menggugat Pasal 280 ayat (1) huruf H UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah dimaknai dalam putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 lantaran dianggap bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
"Menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Thaun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana telah dimaknai dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 (Lembaran Negara Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai hukum mengika terhadap frasa: kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu," demikian isi petitum dikutip dari laman MK, Minggu (17/9/2023).
Pemohon menilai putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 telah menimbulkan masalah dan ketidakpastian hukum bagi sejumlah lembaga pendidikan atau fasilitas pemerintah.
Baca juga: Andaikan MK Beri Jalan Gibran Maju Cawapres, Hasto: Capresnya Tinggal Dua, Ganjar dan Anies
Salah satu masalah hukum yang muncul yaitu ketika putusan MK tersebut yang menyebut mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapatkan izin pihak yang bertanggung jawab dari larangan kampanye pemilu, telah mendapat sejumlah penolakan, dan turunan pengaturan terkait sistem serta ketentuan kampanye masuk dipertanyakan dan penuh dengan ketidakpastian hukum.
"Bahwa berdasarkan uraian kerugian yang dialami para Pemohon telah nyata terdapat cukup potensi terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) sebagai Prinsip dari Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," ucapnya.
Pemohon pun meminta agar MK dapat berperan secara maksimal sebagai The Guardian of Constitution, The Protector of Citizen's Constituional Rights, dan The Protector of Human Rights demi mempertegas dan memberikan rasa keadilan dalam perkara a quo dengan memberikan putusan provisi (sela) dalam perkara a quo.
Di sisi lain, pemohon menilai putusan MK ini juga telah menegasikan atau menuding bahwa institusi pendidikan menjadi tempat politik praktis.
Hal ini, sambungnya, dianggap bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
"Untuk membentuk pengetahuan yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sejumlah perundang-undangan mengatur dengan jelas dan tegas terkait prinsip dasar dan asas dalam melangsungkan proses pembelajaran di dunia pendidikan."
"Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya ketentuan bahwa pembelajaran di dunia pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa sebagai dijamin dalam Pasal 4 ayat (1) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional."
"Dalam ketentuan yang lain juga disebutkan, bahwa asas dalam memperoleh pendidikan harus berlandaskan kebenaran ilmiah; penalaran; kejujuran; keadilan; manfaat; kebajikan; tanggung jawab; kebinekaan; dan keterjangkauan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal in jelas menegasikan lembaga pendidikan politik praktis di mana ilmu pengetahuan dipakai untuk kepentingan partisan," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pilpres 2024