Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan para elite politik perlu lebih rileks dalam menanggapi sederet hasil survei yang dipublikasi menjelang pesta demokrasi.
"Penting bagi para elit politik, menghadapi Pilpres 2024, untuk lebih rileks dalam membaca hasil survei," kata Denny, Kamis (12/10/2023).
Ia juga menyebut para elite politik atau pihak yang terkait survei, perlu juga melihat apakah lembaga survei tersebut kredibel.
Misalnya saja dengan melihat rekam jejak digital melalui alat pencarian yang tersedia seperti Google.
"Tiga tips sederhana bisa digunakan. Pertama, lihat track record lembaga survei itu. Bukankah ini era pencarian Google? Segala hal bisa kita lihat jejak digitalnya di Google," ujarnya.
Ia mencontohkan LSI Denny JA yang saat ini jadi salah satu lembaga survei tertua dan masih aktif menggelar jajak pendapat opini publik.
Denny menerangkan sejak tahun 2004, sebulan sebelum hari pencoblosan, LSI Denny JA memberikan satu publikasi mengenai siapa yang menang di Pilpres saat itu.
Di tahun 2004, SBY terpotret akan menang. Di tahun 2009, SBY akan menang satu putaran. Kemudian di tahun 2014, ataupun 2019, LSI Denny JA juga mempublikasikan, Jokowi akan menang.
Hasil survei tersebut kemudian terbukti saat mereka yang dinyatakan unggul di survei, memenangkan kontestasi Pilpres.
"Semua bisa dilihat di Google," jelas Denny.
Namun ia tak memungkiri ada lembaga survei yang namanya baru terdengar kemarin sore dan belum ada rekam jejak yang akurat.
Tips kedua untuk menilai sebuah lembaga survei kredibel yakni dengan melihat reputasinya. Selain itu dapat dinilai kiprahnya atau torehannya.
Sebagai contoh lanjutnya, LSI Denny JA mendapatkan penghargaan dari majalah TIME, serta Guinness Book of World Record karena memecahkan rekor dunia untuk pendidikan politik. Selain itu ada pula penghargaan dari organisasi wartawan PWI Jaya.
"Ada pula lembaga survei, ataupun tokohnya, yang tak terlihat penghargaannya. Tapi tentu ini tak berarti lembaga itu otomatis tidak kredibel," jelas dia.
Tips ketiga, survei juga harus dilihat dalam kerangka waktu. Survei hanya potret ketika saat survei itu dilakukan. Waktu yang berbeda dapat pula memperlihatkan hasil yang berbeda.
Dikatakan Denny, pesona capres bisa naik dan turun.
Sosok capres yang sangat populer di survei bulan Juni, bisa saja jatuh tiga bulan kemudian. Misalnya ada blunder yang dilakukan.
Sebaliknya, capres yang buncit di bulan Desember, bisa jauh lebih tinggi di bulan Februari karena sosialisasi yang fenomenal.
Selain itu, ia menerangkan bahwa hasil survei yang dilakukan pada satu wilayah akan berbeda ketika dibandingkan dengan skala nasional.
Tiga tips tersebut, kata Denny, bisa menjadi panduan bagi elite untuk menilai hasil survei tersebut kredibel atau tidak.
Elit politik yang sudah kawakan diyakini terbiasa dengan kondisi itu.
"Hasil riset sebaiknya juga dibantah oleh hasil riset," ungkap dia.
Baca juga: Hasil Survei Anies Baswedan di Sumatera Utara Jeblok, NasDem Somasi LSI Denny JA
Pernyataan Denny ini sekaligus merespons adanya pihak yang keberatan karena tak puas capres dukungannya mendapat persentase kecil di wilayah tertentu.
Menurutnya keberatan terhadap hasil survei umum terjadi setiap gelaran Pilpres atau Pilkada.
"Untuk banyak kasus lain, juga kasus pilkada, kubu yang dikalahkan bahkan menduga ada permainan tingkat tinggi. Bahkan mereka mengatakan hasil survei ini diatur untuk nanti membenarkan kecurangan pemilu atau pilkada," pungkasnya.