News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Putusan MKMK Dibacakan Hari Ini, Sederet Temuan yang Tentukan Nasib Anwar Usman & Gibran di Pilpres

Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Mahkamah Konsitutsi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi sejumlah Hakim Konstitusi lainnya memimpin sidang pengucapan putusan gugatan batas usia maksimal Capres-Cawapres 70 tahun di ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/10/2023). Dalam putusannya, MK menolak permohonan Pemohon terkait gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden, dengan perkara nomor 107/PUU-XXI/2023 perihal maksimal umur capres-cawapres 70 tahun. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dijadwalkan bakal mengumumkan putusan terkait sidang etik terhadap sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Selasa (7/11/2023).

Pelanggaran etik itu berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimum usia calon presiden dan wakil presiden.

Atas putusan tersebut, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju sebagai capres atau cawapres jika punya pengalaman sebagai kepala daerah atau pejabat lain yang dipilih melalui pemilu.

Berkat putusan MK ini, putra sulung Presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, yang baru berusia 36 tahun dapat maju sebagai cawapres Pemilu 2024.

Putusan ini pun menuai polemik dan dianggap memuat konflik kepentingan lantaran diketuk oleh Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi sekaligus paman dari Gibran.

Berikut sederet temuan yang dihimpun MKMK yang telah memeriksa sejumlah pihak sejak hari Selasa (31/10/2023):

1. Dugaan kebohongan

Anwar Usman diduga memberikan keterangan yang tidak benar soal alasannya tak ikut memutus tiga perkara uji materi usia capres-cawapres dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Tiga perkara uji materi bernomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 itu akhirnya ditolak oleh MK.

Dugaan kebohongan Anwar ini disampaikan salah satu pelapor dan dikonfirmasi oleh MKMK ke para hakim konstitusi yang diperiksa.

"Tadi ada yang baru soal kebohongan. Ini hal yang baru," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie kepada wartawan, Rabu (1/11/2023).

"Kan waktu itu alasannya kenapa tidak hadir ada dua versi, ada yang bilang karena (Anwar) menyadari ada konflik kepentingan, tapi ada alasan yang kedua karena sakit. Ini kan pasti salah satu benar, dan kalau satu benar berarti satunya tidak benar," ujarnya.

Kronologi mengenai mangkirnya Anwar Usman dalam RPH putusan tiga perkara tersebut sebelumnya diungkap oleh hakim konstitusi Arief Hidayat lewat dissenting opinion dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

RPH itu dihadiri oleh delapan dari sembilan hakim konstitusi pada 19 September 2023.

Baca juga: Jelang Putusan Etik Hakim Konstitusi, MKMK Diingatkan Soal Kasus Akil Mochtar

"RPH dipimpin oleh Wakil Ketua (Saldi Isra) dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir. Wakil ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan," kata hakim konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pendapat berbedanya dalam sidang di Gedung MK, 16 Oktober 2023.

"Disebabkan, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, di mana kerabat ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo," ujarnya lagi.

Tanpa kehadiran Anwar Usman, RPH menghasilkan putusan yang konsisten terhadap sikap Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu, bahwa ihwal usia jabatan publik merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah.

Oleh karenanya, dalam RPH tersebut, MK secara aklamasi menolak tiga gugatan yang masing-masing diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan para kepala daerah itu.

Namun, dalam RPH berikutnya, menurut Arief, Anwar Usman menjelaskan bahwa ia tak ikut memutus perkara PSI, Garuda, dan para kepala daerah, karena alasan kesehatan.

"Bukan untuk menghindari konflik kepentingan atau conflict of interest sebagaimana disampaikan wakil ketua pada RPH terdahulu," kata Arief Hidayat.

Atas kehadiran Anwar, sikap sejumlah hakim konstitusi mendadak berbalik 180 derajat, menyatakan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif pada semua tingkatan berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum 40 tahun.

Substansi ini menjadi dasar dikabulkannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kini menjadi kontroversi.

2. Hubungan kekerabatan

Ketua Majelis Kehormatan MK, Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan berdasarkan keterangan pelapor, pihaknya menyoroti dugaan hakim konstitusi yang tidak mengundurkan diri, padahal dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 patut diduga adanya konflik kepentingan.

"Perkara yang dia punya hubungan keluarga,” ujar Jimly dalam Sidang Pemeriksaan Pelapor Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi di Gedung MK, Rabu (1/11/2023).

Namun demikian, Anwar Usman sebelumnya sudah membantah hal itu.

Anwar menegaskan bahwa selama 38 tahun kariernya sebagai hakim, ia selalu memegang teguh amanah dalam konstitusi, undang-undang dasar, amanah dalam Al Quran.

"Sesuai dengan irah-irah dalam sebuah putusan, sama dengan putusan di MA, saya hakim konstitusi yang berasal dari MA, irah-irah putusannya (MK juga berbunyi) 'Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa'. Jadi putusan itu selain bertanggung jawab kepada bangsa, negara, masyarakat, tetapi yang paling utama adalah pertangungjawaban kepada Allah SWT," ujar dia dalam jumpa pers pembentukan Majelis Kehormatan MK (MKMK), Senin (23/10/2023).

"Dalam setiap perkara apa pun itu yang saya lakukan sampai hari ini," kata dia. 

Ia kembali mengutip cerita Nabi Muhammad yang menjamin akan memotong sendiri tangan anaknya, Fatimah, seandainya Fatimah mencuri.

Pernyataan ini kerap kali ia sampaikan berulang dalam berbagai kesempatan untuk mengomentari anggapan publik dirinya tak bisa bersikap netral dalam memutus perkara karena hubungan kekerabatan dengan Istana.

Kemudian, Anwar mempertanyakan tuduhan konflik kepentingan yang dialamatkan kepadanya.

Baca juga: Pelapor Permasalahkan Tak Adanya Aturan Soal Banding Putusan MKMK

Sebab, secara normatif, MK tidak dalam posisi mengadili seseorang sebagaimana perkara pada pengadilan pidana atau perdata, melainkan mengadili norma. 

"Rekan-rekan dipersilakan membaca, mengkaji putusan MA nomor 004/PUU-I/2023, mulai dari situ kawan-kawan sekalian bisa mencermati apa itu makna konflik kepentingan atau conflict of interest berkaitan dengan kewenangan MK," kata Anwar.

"Nanti selebihnya, tentu kami semua termasuk ini, akan meminta pertanggungjawabkan kepada Majelis Kehormatan MK," ucap dia.

3. Temuan CCTV

MKMK juga mengaku telah mengantongi bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) soal kejanggalan pendaftaran gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Diketahui, gugatan itu sempat ditarik, lalu dibatalkan penarikannya.

Namun, atas situasi ini, gugatan tersebut justru menjadi satu-satunya yang dikabulkan oleh MK.

"Itu bagian dari persoalan manajemen registrasi dan persidangan," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Rabu.

"(Bukti yang dikantongi) CCTV yang berkaitan dengan penarikan permohonan dan pencabutan dan kemudian diajukan lagi. Kita periksa salahnya di mana, belum tentu salah juga," kata dia.

Jimly sebelumnya juga memastikan bakal memeriksa panitera yang berkaitan dengan kejanggalan tersebut.

Pemeriksaan panitera itu dijadwalkan digelar pada Jumat (3/11/2023).

Kejanggalan soal penarikan dan pendaftaran ulang berkas perkara dengan pemohon Almas Tsaqibbirru ini sebelumnya diungkap oleh hakim konstitusi Arief Hidayat saat menyatakan dissenting opinion putusan yang sama.

Dalam dissenting opinion-nya, Arief memaparkan kronologi bahwa kepaniteraan MK menerima surat penarikan gugatan yang dikirim kuasa hukum Almas pada Jumat (29/9/2023).

Surat itu bertanggal 26 September 2023. Namun, pada Sabtu (30/9/2023), MK menerima surat baru dari kuasa hukum Almas bertanggal 29 September 2023 yang isinya memuat pembatalan surat pencabutan gugatan yang mereka serahkan kepada MK satu hari sebelumnya.

Almas cs meminta MK tetap memeriksa dan memutus perkara itu.

Lalu, pada Selasa (3/10/2023), MK menggelar sidang untuk mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan Almas.

Menurut kuasa hukum, surat pembatalan penarikan gugatan itu diterima oleh petugas keamanan MK bernama Dani pada Sabtu (30/9/2023) malam. 

Namun, berdasarkan penelusuran Arief, merujuk Tanda Terima Berkas Perkara Sementara yang dicatat oleh MK, surat pembatalan penarikan gugatan itu baru diterima pada Senin (2/10/2023) pada pukul 12.04 WIB.

Menurut Arief, pegawai MK yang menerima surat itu pun bukan Dani, sebagaimana dikatakan tim kuasa hukum.

Pegawai MK yang namanya tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara adalah Safrizal.

Arief mengaku heran karena kepaniteraan MK meregistrasi surat pembatalan penarikan gugatan itu pada Sabtu (30/9/2023) yang notabene merupakan hari libur, bukan pada Senin (2/10/2023) sebagaimana tercatat dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara.

Mantan Ketua MK itu menilai, pemohon mempermainkan kehormatan MK sebagai lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan gugatan.

Arief juga menyebutkan, pemohon mestinya tidak dapat mengajukan lagi gugatan yang telah mereka cabut, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c pada Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 yang mengatur tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang.

Baca juga: Jelang Vonis MKMK, Mahfud MD: Saya Percaya Kredibilitas Pak Jimly, Reaksi Publik Juga Menentukan

Di sisi lain, katanya, MK seharusnya menolak surat pembatalan penarikan perkara dan tak lagi melakukan pemeriksaan, apalagi mengabulkan permohonan.

4. Gugatan tak ditandatangani

Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada akhirnya dikabulkan oleh MK dimohonkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.

Ternyata, baru-baru ini terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan tersebut tak ditandatangani kuasa hukum ataupun Almas sendiri.

Temuan ini diungkap oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. PBHI mendapatkan dokumen tersebut langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan dalam persidangan.

"Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ungkap Ketua PBHI Julius Ibrani yang terhubung secara daring dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).

Menurut Julius, selama ini MK telah menjadi pionir sekaligus teladan pemeriksaan persidangan yang begitu disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif.

Oleh karenanya, janggal apabila ada dokumen permohonan yang tak ditandatangani, tetapi tetap diproses.

"Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," ucap dia.

Terkait hal ini, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat dua dokumen perbaikan yang disampaikan pemohon perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Menurutnya, dokumen perbaikan yang diunggah di situs resmi MK memang tidak bertanda tangan.

"Tapi ada sidang klarifikasi, sidang pendahuluan, nah itu sudah diperbaiki," kata Jimly selepas sidang, Kamis (2/11/2023).

Jimly pun mengakui bahwa temuan ini menunjukkan adanya masalah dalam tertib administrasi di MK terkait perkara uji materi syarat usia capres-cawapres.

"Kami sudah mendapatkan klarifikasi khusus untuk itu, (bahwa) ada rapat klarifikasi. Itu sudah diperbaiki," tegasnya.

Nasib Gibran dan sang paman

Apakah putusan MKMK bisa menggugurkan putusan MK sehingga pencalonan Gibran di Pilpres 2024 bisa batal?

Eks hakim konstitusi yang juga eks Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, menegaskan putusan MKMK tidak bisa mengoreksi putusan MK.

Termasuk putusan yang menuai pro dan kontra nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres.

"Pendapat saya, sebagaimana telah saya sampaikan ke berbagai media, MKMK memang tidak boleh memasuki putusan MK," kata Palguna kepada wartawan pada Sabtu (4/11/2023).

"Wewenang MKMK adalah berkenaan dengan (dugaan) pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim (sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama). Artinya, kewenangan MKMK terbatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap hakim konstitusi jika terbukti melanggar," jelasnya.

Palguna tidak menutup kemungkinan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bisa saja membuat "gebrakan" berkenaan dengan sanksi yang dijatuhkan untuk hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik.

Ia menyinggung rekam jejak Jimly yang dikenal progresif dan senang membuat terobosan.

"Namun tetap berada di wilayah etik, tidak memasuki putusan MK," ujar Palguna yang juga menjadi Ketua MKMK ad hoc pada awal tahun ini.

"Artinya, betapa pun jengkelnya kita terhadap putusan MK, putusan tersebut tetap mengikat sebagai hukum sesuai dengan bunyi Pasal 47 UU MK, 'Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum'," kata dia.

Ia berpandangan, putusan MKMK hanya bisa berdampak terhadap putusan MK jika putusan etik tersebut dijadikan sebagai bukti kuat untuk mengajukan alasan pengujian kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diubah Putusan 90.

"Pasal 60 UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa UU yang telah pernah dimohonkan pengujian tidak dapat diuji kembali kecuali alasan konstitusional yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda," jelas Palguna.

Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membuka kemungkinan putusan etik yang ia teken nanti akan dapat mengoreksi putusan MK, entah dengan cara apa.

Itu sebabnya, ia mengabulkan permintaan salah satu pemohon, Denny Indrayana, agar putusan etik itu dibacakan pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal capres-cawapres pengganti di KPU RI.

Denny melandaskan argumennya pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tidak sahnya sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.

UU yang sama mengamanatkan agar, jika situasi itu terjadi, maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.

Namun, Jimly menyinggung, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa putusan MK final dan mengikat.

Baca juga: Petrus Selestinus Harap Putusan MKMK Obyektif Tanpa Intervensi dari Kekuasaan Manapun

"Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Jimly, Rabu lalu.

Menurut Jimly, Anwar Usman benar terbukti bersalah dalam memutuskan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres.

Pernyataan Jimly ini dilontarkan untuk menjawab pertanyaan awak media terkait apakah ipar Presiden Jokowi itu terbukti bersalah.

"Iyalah (terbukti bersalah)," kata Jimly, di Gedung MK, Jumat (3/11/2023).

Jimly mengungkapkan Anwar Usman merupakan hakim yang paling banyak dilaporkan.

"Total ada 21 semuanya (laporan), namun yang terkait Anwar Usman ada 15 laporan" kata Jimly. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini