Berbicara perempuan, Atikoh menegaskan keyakinannya bahwa perempuan adalah sebagai tiang negara. Maka jika perempuannya kuat, maka negara juga akan kuat.
Karena itu, perempuan harus mendidik dan dididik secara dini. Anak-anak perempuan yang menggali ilmu di berbagai sekolah, termasuk yang berbasis keagamaan seperti pesantren, harus dibantu agar bisa menimba ilmu setinggi mungkin.
“Adik-adik santri harus menimba ilmu setinggi langit,” kata Atikoh.
Atikoh juga bicara perempuan dalam perannya sebagai ibu di dalam keluarga, sebagai unit terkecil negara.
Menurutnya, perempuan adalah kunci untuk membangun keluarga yang tangguh. Jika keluarga tangguh dan berakhlak mulia, maka negaranya juga akan maju.
Maka dari itu, dia ingin memastikan perempuan mendapat pendidikan menjadi penting.
Dalam konteks itu pula, support kepada pembaga pendidikan formal maupun informal keagamaan harus diperkuat.
“Karena kalau bidang pendidkannya kuat, kalau kita bicara daya kompetitif sebuah negara, daya kompetisi anak bangsa, itu harus kuat pendidikannya, baik pendidikan di rumah,” ungkap Atikoh.
“Karena pendidikan di rumah menjadi pondasi. Ibu- ibu di belakang tadi ada yang membawa balita. Sejak triwulan pertama itu yang paling bepengaruh adalah pendidikan seorang ibu. Makanya ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya,” jelasnya.
Dalam hal itu, Atikoh menilai perlunya memberikan perhatian dan regulasi khusus untuk memperhatikan lembaga pendidikan informal berbasis keagamaan.
“Kalau pendidikan formal itu jelas. Mungkin kalau ada yang bekerja di pabrik ada UMR, kalau guru ada gaji. Tetapi kalau guru ngaji, kemudian yang bergerak di bidang PAUD, itu belum ada aturan. Ini menjadi PR juga bagi kita semua,” ujarnya.
Atikoh mengatakan kerap kali yang diperhatikan hanya sekedar bagaimana membantu asupan gizi ke anak harus lengkap, namun melupakan asupan mental dan rohani.
“Jadi jangan hanya bekal asupan gizi tetapi juga asupan mental dan rohani harus jadi tanggung jawab kita bersama,” pungkas Atikoh.