News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Pengamat Sebut Intimidasi Politik Gunakan Kekerasan Melanggar Prinsip Pemilu

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Diskusi Publik Kecurangan dan Kekerasan dalam Pemilu 2024: Nasibnya Bagaimana? di Waroeng Sadjoe, Jakarta, Jumat 5 Januari 2023.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Militer sekaligus Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan pemilihan umum (pemilu) dibutuhkan dalam konteks negara demokratis.

Menurutnya, pemilu dibutuhkan untuk mengatur transisi politik, bukan hanya pesta, tapi sarana politik sosial masyarakat.

Dalam konteks pemilu 2024, Araf berpandangan berpotensi tidak berlangsung secara demokratis.

Hal itu bermula dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan batas usia minimal capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

“Putusan MK 90 adalah titik awal Pemilu tidak demokratis, ada pola yang sistematis, pemilu terjadi tidak demokratis,” ungkapnya dalam diskusi Kecurangan dan Kekerasan dalam Pemilu 2024, Jumat (4/1/2024).

Araf menyampaikan pemilu 2024 bebas dari kebebasan, seepeti kekerasan yang dialami oleh salah satu pendukung paslon, tidak ada justifikasi apapun untuk melakuan kekerasan, apalagi dari TNI.

“Apa yang terjadi di Boyolali adalah bentuk intimidasi secara politik dengan kekerasan, melanggar Prinsip Pemilu,” ujar Araf.

Menurutnya, peristiwa di Boyolali tidak berdiri sendiri karena terjadi saat Pemilu, saat kampanye, ada atributnya.

“Motor yang berisik dan bising itu selalu terjadi, kenapa harus terjadi kekerasan seperti di Boyolali,” tuturnya.

“Apalagi ini kan soal lalulintas, menjadi kewenangan Polisi. Kasus ini jangan dipersempit menjadi kriminal biasa, harus ditarik, apakah ada motif politik?” tambahnya.

Dia menilai Komnas HAM seharusnya bisa turun, bukan diam dengan kekerasan yang terjadi terhadap warga.

Araf menyoroti pernyataan Kasad tentang kasus ini adalah membela diri, self defense itu dilakukan bila apparat itu dilakukan Ketika nyawanya terancam.

Bila seorang militer nyawanya tidak terancam, maka tafsir self defence tidak dapat digunakan.

“Pertanyaannya, apakah knalpot bisa menjadi ancaman nyawa bagi pelaku? Rasanya tidak,” kata Araf.

Araf memberikan contoh pertarungan pemilu di negara Nigeria, semua kandidat menolak hasil pemilu, yang terjadi kudeta militer.

Politik yang tidak fair ini, kata dia, bisa mengancam demokrasi, seperti di Nigeria.

Penjelasan KSAD

Sementara Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak angkat bicara terkait kasus penganiayaan relawan Ganjar Pranowo yang dilakukan sejumlah oknum TNI di Boyolali Jawa Tengah.

Maruli menegaskan TNI tetap memegang teguh netralitas dalam menghadapi Pemilu 2024.

Ia juga meminta semua pihak tidak berlebihan dalam menarik kesimpulan dari insiden yang terjadi di Boyolali pekan lalu.

Maruli menyayangkan ada pihak-pihak yang coba mengaitkan insiden yang terjadi ke arah netralitas TNI.

Hal tersebut disampaikan Maruli saat wawancara eksklusif dengan Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi dalam acara bertajuk “Penganiayaan Relawan, Netralitas TNI Dipertanyakan” di Kompas TV pada Kamis (4/1/2024).

"Tidak ada sangkut-pautnya dengan yang lain (netralitas TNI). Ini murni karena anggota saya masih muda, jadi meresponnya begitu. Tapi dilihat dari perkembangannya sekarang, larinya ke mana-mana. Makanya saya berterima kasih bisa hadir di Rosi untuk mengklarifikasi hal itu," kata Maruli.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini