TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra sempat berkelakar dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan legislatif saat menyampaikan permohonan maaf atas tertundanya jadwal sidang PHPU legislatif sebagaimana jadwal yang ditentukan.
Keterlambatan ini terjadi usai sidang diskors untuk para hakim dan seluruh pihak dapat beristirahat makan siang dan menunaikan ibadah Salat dzuhur.
Selama sidang PHPU berlangsung, agenda kembali dilanjutkan pukul 13.00 atau 13.30 WIB.
"Pertama sebelum dimulai kami mohon maaf ya ini agendanya tertunda sekitar 20 menit memasuki ruang persidangan, karena tadi memang sesi sebelumnya telat hampir 40 menit," kata Hakim Saldi Isra dalam ruang sidang panel 2 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/5/2024).
Baca juga: Hakim MK Kembali Soroti Penulisan Dokumen KPU yang Tak Rapi: Jangan Hanya Substansi, Estetika Juga
Diketahui, saat sesi beristirahat di sela sidang, para hakim konstitusi biasanya menikmati santap siang sembari beristirahat dan juga menunaikan ibadah salat.
Lalu, Saldi pun berkelakar soal kegiatan para hakim itu kerap disingkat jadi ‘Maksiat’.
"Jadi kami harus melakukan makan istirahat dan salat. Katanya itu ‘maksiat’, makan istirahat dan salat, itu singkatan ya," ungkapnya.
"Jadi agak telat sedikit, itu pun hanya 20 menit dari jadwal normal. Kita mengurangi waktu istirahat kita 20 menit, di sini juga akan kena 20 menit," tambah Saldi.
Hasyim Asyari Lagi-lagi Ditegur
Dalam persidangan lain, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari kembali ditegur dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hakim konstitusi Suhartoyo kembali menegur Hasyim saat ia hendak bertanya kepada pihak KPU RI selaku termohon dalam persidangan.
Teguran itu dilayangkan sebab Hasyim tak langsung merespons saat ditanyai oleh Suhartoyo.
"Baik pak ketua, Pak Hasyim, bapak tidur ya?" ujar Suhartoyo.
Baca juga: Tokoh Suku Mee Papua Tengah Minta MK dan KPU Kembalikan Suara Masyarakat Hasil Kesepakatan Noken
Pernyataan yang dilontarkan Suhartoyo soal ke mana sisa suara yang tidak terkonversi menjadi kursi.
Hasyim kemudian langsung menjawab pada substansi pertanyaan hakim.
Dia mengungkapkan tidak ada istilah sisa suara karena penghitungan menggunakan metode divisor.
Dalam mengkonversi suara menjadi kursi, KPU menggunakan metode Sainte Lague dalam mengkonversi suara menjadi kursi. Metode ini digunakan pertama kali dalam Pemilu 2019.
Sainte Lague adalah sebuah metode untuk menentukan perolehan suara kursi partai politik di parlemen.
Penentuan itupun didasarkan dengan perhitungan yang menerapkan sistematika bilangan pembagi suara untuk mendapatkan kursi.
Pembagian itu bersifat angka ganjil, mulai dari 1, 3, 5, dan seterusnya.
Adapun jumlah perolehan suara yang tidak mendapatkan jatah kursi maka suara menjadi tidak bermakna.
"Tidak bermakna itu apa kemudian tidak bisa dikategorikan sisa suara?" tanya Suhartoyo.
"Sejak Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 menggunakan UU 7/2017 tidak ada lagi istilah sisa suara," timpal Hasyim menjawab.
Baca juga: SYL Sampai Zikir Dengar Pengakuan Anak Buah di Sidang Kasus Korupsinya
Arief Puji Bawaslu Papua Barat Daya
Sementara itu, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat memuji Bawaslu Provinsi Papua Barat Daya karena hadir dalam sidang mengenakan kemeja batik seragam.
Momen itu berlangsung dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Legislatif di panel III, ruang sidang gedung MK, Jakarta, Rabu.
Mulanya, Hakim Arief Hidayat tengah mengonfirmasi alat bukti tambahan yang baru diserahkan para pihak untuk perkara nomor 133 yang dimohonkan Partai NasDem.
Adapun saat giliran Hakim Arief mengonfirmasi pihak Bawaslu Papua Barat Daya, ia menyoroti sejumlah anggota Bawaslu itu mengenakan pakaian seragam berupa kemeja bermotif batik warna kuning.
Arief melemparkan pujian bahwa seragam yang dikenakan sejumlah anggota Bawaslu Papua Barat Daya bagus.
Ia kemudian menyebut pakaian yang dikenakan sejumlah anggota KPU RI hampir mirip dengan seragam Bawaslu itu.
"Itu pakai batik sama semua, bagus itu. Termasuk KPU pusat, batiknya hampir mirip," kata Arief.
Selanjutnya, Arief mengatakan, hanya para pemohon dan kuasa hukumnya yang sulit untuk diseragamkan pakaiannya.
"Ini yang enggak bisa diseragamkan itu pemohon itu, seragamnya lalu seragam apa, enggak bisa ya. Kalau Bawaslu bisa itu," ujar Arief.
Merespons pernyataan Arief, seorang kuasa hukum pemohon menyebut, sejatinya para kuasa hukum juga mengenakan pakaian seragam, yaitu toga advokat.
"Toga advokat aja, Yang "kata seorang kuasa hukum pemohon berguyon.
"Toga? Toganya sendiri-sendiri itu," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat sambil tertawa.
Sirekap Tak Boleh Keliru di Pilkada
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mewanti-wanti KPU soal penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) pada perhelatan Pilkada Serentak 2024 mendatang.
Arief juga menyinggung peristiwa erornya Sirekap ketika tahapan rekapitulasi suara di ajang pemilihan presiden kemarin. Hal ini yang kemudian dimasukkan dalam dalil permohonan.
Wanti-wanti ini disampaikan Arief dalam sidang panel 3 untum perkara nomor 20-01-04-01/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu.
"Kalau begitu bahwa manual sudah selesai, baik. Dicetak berdasarkan Sirekapnya. Itu kemudian jadi permasalahan. Terus kemudian minta tolong diperbaiki lagi, tapi tidak diperbaiki," kata Arief.
Mahkamah lalu mengingatkan bahwa perubahan suara bisa saja kembali terjadi di dalam Sirekap. Pasalnya rekapitulasi suara berjenjang yang dilakukan KPU, mulai dari tingkat TPS hingga kabupaten, hasilnya akan dimasukkan dalam Sirekap.
Hasil dari unggahan ke dalam Sirekap itu yang kemudian dicetak.
Kata Arief, kesalahan atau perubahan terjadi ketika angka dari hasil rekapitulasi manual dimasukkan dalam Sirekap.
"Karena itu berjenjang dari TPS, ya toh. Terus kemudian sampai tingkat kabupaten pun berjenjang. Terus kemudian itu harus dimasukkan Sirekap, yang dicetak di sirekap kan. Nah itu yang berubah di situ toh,” jelas dia.
Atas peristiwa ini, Mahkamah mengingatkan KPU untuk membenahi Sirekap karena pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 tinggal hitungan bulan.
Apalagi Pilkada mendatang serentak dilakukan untuk pemilihan kepala daerah di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.
"Gimana ini kalau gitu. Ini di semua tingkatan, apalagi kemarin waktu kita pilpres itu sirekapnya jadi bermasalah. Memang Sirekap tidak bisa digunakan, karena bermasalah terus itu," kata Arief.
"Untuk catatan. Karena nanti sebentar lagi pilkada, hampir 500 lebih pilkada serentak di seluruh Indonesia. 508. Ya itu. Jadi kita harus hati-hati betul," pungkas Arief.
Anggota KPU RI Idham Holik yang hadir mewakili pimpinan KPU pun mengangguk-angguk menyanggupi permintaan Hakim Konstitusi. (Tribun Network/Yuda)