News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2024

Tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 Diperkirakan di Bawah 70 Persen, Apa Penyebabnya?

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengakui tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 lebih rendah dibandingkan dengan Pilpres dan Pileg 2024. Angkanya diperkirakan di bawah 70 persen. Foto suasana Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pilkada 2024 nomor 14 di Kelurahan Jagalan, Surakarta, Rabu (27/11/2024). -

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengakui tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 lebih rendah dibandingkan dengan Pilpres dan Pileg 2024. 

Anggota KPU RI, August Mellaz menyebut tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 diperkirakan di bawah 70 persen.

Hal ini, menurutnya, sudah menjadi pola umum karena Pilkada cenderung memiliki partisipasi lebih rendah dibandingkan Pemilu nasional. 

"Kalau kita lihat sekilas ya, dari gambaran secara umum, ya kurang lebih di bawah 70 persen. Secara nasional rata-rata," ujar Mellaz di Media Center KPU RI, Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Baca juga: Golkar Optimistis Masuk 3 Besar Pemenang Pilkada Serentak 2024 Kalahkan PDIP

Saat ini, KPU sedang fokus pada rekapitulasi hasil Pilkada yang berlangsung di tingkat kecamatan sebelum dilanjutkan ke tingkat provinsi. 

Evaluasi terkait rendahnya partisipasi pemilih akan dilakukan setelah proses rekapitulasi selesai.

Mellaz juga menjelaskan salah satu faktor teknis yang membedakan Pilkada dan Pemilu nasional, yaitu jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan kapasitas pemilihnya. 

Hal itu nanti akan jadi pembahasan saat evaluasi.

Pada Pemilu nasional, ada lebih dari 800 ribu TPS dengan maksimal 300 pemilih per TPS. 

Sedangkan di Pilkada, jumlah TPS lebih sedikit dengan kapasitas pemilih sekitar 600 orang jika dilakukan pemadatan.

Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, ada 8.214.007 orang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tersebar di 14.835 Tempat Pemungutan Suara (TPS). 

Baca juga: Profil Nina Agustina yang Kalah dari Lucky Hakim di Pilkada Indramayu, Sempat Viral Omeli Warga

Realita setelah penghitungan yang dilakukan oleh KPU Jakarta, angka partisipasi pemilih hanya 53,05 persen.

Artinya, persentase golput di Jakarta sebanyak 46,95 persen atau setara dengan 3,8 juta jiwa. 

Angka ini menjadi persentase tertinggi sepanjang sejarah golput di Jakarta.

Secara nasional, partisipasi pemilih pada Pilkada tahun 2024 didominasi oleh Millenial (rentan umur 1981 - 1996) dan Gen Z (rentan umur 1997 - 2012). 

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) melakukan penghitungan suara di Kantor Kecamatan Gambir, Jakarta, Kamis (28/11/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan proses rekapitulasi penghitungan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) dilaksanakan secara berjenjang mulai di tingkat TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/kota dan KPU Provinsi dilakukan dari tanggal 28 November hingga 9 Desember 2024. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Sedikit berbeda dengan Jakarta yang didominasi oleh generasi X (rentan umur 1965 - 1980).

Sementara itu berdasarkan hasil pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) tingkat partisipasi pilkada di sejumlah daerah berada di bawah 50
persen. 

Misalnya, di Tambora, Jakarta Barat, dan Bandung, Jawa Barat, pemilih yang menggunakan hak suaranya kurang dari separuh dari daftar pemilih tetap (DPT).

Survei Charta Politika menunjukkan bahwa Pilkada Jakarta hanya diikuti 58 persen daftar pemilih tetap. 

Jadi ada 42 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput pada pilkada serentak kali ini.

Terkait hal tersebut Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Mohammad Toha meminta KPU melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.

"Penurunan partisipasi itu menjadi bahan evaluasi, kenapa partisipasi pemilih bisa menurun? Apa penyebabnya?" kata dia.

Menurut Toha, tentu ada sejumlah kemungkinan yang menjadi penyebab menurunnya angka partisipasi pemilih. 

Misalnya, masa kampanye yang pendek menjadi penyebab penurunan partisipasi. 

Dengan masa kampanye yang pendek, maka waktu sosialisasi para pasangan calon (paslon) sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup. 

"Tentu ini harus dikaji secara mendalam," ucap legislator asal Dapil Jawa Tengah V itu.

Atau sosok calon yang diusung tidak diminati masyarakat. 

Mungkin karena calon tersebut tidak dikenal masyarakat atau karena kandidat itu dari luar daerah, sehingga pemilih tidak menyukainya.

Karena masyarakat tidak senang dengan pasangan calon yang diusung, mereka kemudian memutuskan untuk golput. 

"Tentu kita akan menunggu evaluasi dan kajian mendalam yang dilakukan KPU," ujar Toha.

Dia menegaskan bahwa Pilkada 2024 menelan biaya cukup besar, sekitar Rp 37,4 triliun. 

Sehingga sangat merugi jika angka partisipasi pemilihnya rendah.

"Pilkada merupakan pesta demokrasi. Yang berpesta adalah rakyat. Jika rakyat enggan menyalurkan hak pilihnya, maka ada yang salah dengan pesta itu," pungkasnya.(Tribun Network/mam/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini