TRIBUNNEWS.COM, POLMAN - "Kuncinya ada pada penutupnya yang harus panas, agar adonan kuenya dapat mengembang," kata Sumarni kepada jurnalis Tribun Sulbar Tribun Network.
Sumarni adalah pedagang jajanan khas Mandar, Bolu Paranggi. Ia berjualan di Jalan Kartini, Kelurahan Lantora, Kecamatan Polewali, tak jauh Markas Polres Polman.
Sumarni atau Marni mendirikan lapak sederhana di pinggir jalan.
Di kios yang sederhana itu, Sumarni berdua dengan menantunya membuat Bolu Paranggi mulai pagi hingga sore hari.
"Bahannya sederhana, cukup tepung terigu dan gula merah, mentega oles dan potax," terang Sumarni, Jumat (10/3/2023).
Sumarni mengatakan, meski bahanya sederhana, tapi proses pembuatannya terbilang susah.
Lantaran pembuat kuenya harus berhadapan dengan panasnya api.
Di lapaknya, Marni membuat Bolu Paranggi menggunakan enam cetakan. Cetakan itu dipanaskan di atas tungku.
Dijelaskan, suhu panas yang membuat adonan kue mengembang berasal dari penutupnya.
Bolu Paranggi sejak lama dikenal satu di antara kudapan khas suku Mandar yang populer di masyarakat.
Bolu Paranggi, dibuat dengan cara dipanggang di atas tungku.
Kuliner khas Mandar satu ini berbahan tepung terigu dan gula merah.
Rasanya manis dan empuk di lidah, apalagi jika disantap saat masih hangat.
Kudapan satu ini mudah dijumpai di wilayah Polman, Majene dan Mamuju.
Banyak dijajakan di warung-warung pinggir jalan.
Bolu Paranggi dapat bertahan satu minggu atau tujuh hari.
Serta sedikit panas api dari bawah tungku atau alat tradisional yang masih digunakan.
Bahan utama tepung terigu, gula merah, air dan pengembang dicampur jadi adonan kue.
Setelah itu, cetakan diolesi sedikit mentega, agar adonan kue Bolu Paranggi tidak lengket dan mudah terlepas.
Adonan kue tersebut dituang dalam cetakan, lalu ditutup dengan penutup yang telah dipanaskan.
“Tidak bagus juga kalau terlalu panas, jadi harus kita rasakan penutupnya sudah panas, atau belum," ungkapnya.
Sumarni menyebut, Bolu Paranggi buatannya dapat bertahan selama satu minggu, peminatnya pun dari berbagai daerah.
Bahkan, kata Sumarni, sudah ada dari Jakarta, Kendari dan Makassar yang perna memesan kuenya.
Ia bersama menantunya, Intan, sudah hampir dua tahun berjualan Bolu Paranggi.
Setiap harinya ada 30 kilogram tepung terigu, dan 30 bungkus gula merah yang ia habiskan jadi kue.
"Satu kue dijual seribu rupiah, keuntungan tiap harinya itu Rp 300 ribu, itu sudah bersih keluar mi modalnya," ungkap Sumarni.
Ia mengaku, belajar resep membuat Bolu Paranggi dari neneknya, diajarkan dari turun temurun.
Kini ia mengajari menantunya, yang tiap hari membuat kue di tungku panas.
Tiap hari Sumarni juga membeli kayu bakar, serta membeli 30 kilogram tepung terigu, dan 30 bungkus gula merah sebagai bahan utama.
Dalam sehari Sumarni memperoleh keuntungan Rp 300 ribu per hari, sebulan ia meraup untung Rp 9 juta.
"Tapi keuntungan itu berputar, modal usaha, gaji menantu dan kebutuhan sehari-hari juga," ungkapnya.(Tribunnews.com/Tribun-Sulbar.com/Fahrun Ramli)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Bolu paranggi kudapan khas mandar terbuat dari tepung terigu dan gula merah