TRIBUNEWS.COM, SOLOK – Satu keunikan tradisi Minang ditunjukkan warga Nagari Bukit Tandang, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Nagari adalah sebutan sama untuk desa. Kabupaten Solok berjarak sekira 52 kilometer. Lama perjalanan darat kurang lebih 1,5 jam.
Dari Kota Padang menuju Solok, baik kabupaten maupun kota, akan melintasi jalur utama tanjakan Sitinjau Lauik.
Tradisi itu bagian khas proses adat ‘maanta mayit ka kuburan (mengantarkan mayat ke kuburan) di prosesi pemakaman warga nagari tersebut.
Tradisi khas Nagari Tandang ini diparadekan di komplek Islamic Center, Nagari Koto Baru, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Selasa (14/3/2023).
Acara ini bagian festival adat 74 nagari di Kabupaten Solok. Masing-masing nagari (desa) menampilkan beragam ciri khas kebudayaan masing-masing.
Secara umum, penampilan dari masing-masing nagari di Kabupaten Solok tersebut hampir identik, seperti prosesi ‘maantaan marapulai, manjalang mintuo dan bararak bako’.
Umumnya, pembeda dari penampilan kebudayaan tersebut terdapat pada jenis pakaian adat yang dipakai peserta kirab kebudayaan.
Parade tradisi antar jenazah saat pemakaman oleh Nagari Tandang jadi pembeda penampilan dari nagari-nagari lainnya.
Saat acara arak-arakan berlangsung, kontingen Nagari Bukit Tandang membawa keranda dari bahan bambu yang ditutup kain batik.
"Ini adalah prosesi adat satu-satunya yang ada di Sumatera Barat dan masih dipertahankan sampai saat ini," kata Wan Piliang, Ketua Pemuda Bukit Tandang, kepada jurnalis Tribun Padang Tribun Network.
Wan yang juga menjabat sebagai malin di Bukit Tandang ini mengatakan, ketika ada masyarakat yang meninggal dunia, ia dibawa menggunakan keranda yang dibikin dari anyaman bambu dan pelepah pohon anau.
"Sejak dulu kami tidak mengenal pemakaian keranda dari besi. Semua masyarakat nagari menolak karena kami memiliki prosesi adat ketika ada yang meninggal," katanya.
Wan menyebutkan, makna dari prosesi ‘maantaan mayit ka kuburan’ adalah untuk memperat rasa kekeluargaan dan semangat gotong royong di nagari.
Jadi ketika ada yang mangkat, masyarakat akan bergotong royong membangun keranda dari bambu dan pelepah anau.
Ia mengatakan proses pembuatan keranda itu tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan harus dipimpin oleh satu seorang malin atau pembantu penghulu dalam urusan agama di nagari.
Penutup keranda tersebut berbentuk segi empat dan tidak dibuat melengkung seperti keranda pada umumnya.
Wan menjelaskan, bahan yang digunakan sebagai penutup berasal dari pelepah pohon anau.
Sementara bagian tandu pada keranda itu terbuat dari betung (bambu petung).
Menariknya, tidak semua mayat bisa dibawa menggunakan penutup anyaman pelepah pohon anau.
Penutup keranda dari pelepah anau hanya diperuntukkan bagi mereka yang meninggal dalam keadaan sudah menikah.
"Kalau yang meninggal masih bujangan atau belum menikah, tidak pakai penutup. Hanya pakai tandu saja, lalu ditutup kain," katanya.
Kemudian di tengah-tengah penutup keranda terdapat anyaman yang menyerupai kerucut dan ditutupi kain yang dinamai susungan.
Susungan juga memiliki perbedaan, tergantung status sosial si mayat. Misalnya, ketika ada penghulu yang meninggal, maka pada susungan akan dipasangkan deta.
Kemudian ketika ada seorang malin atau ulama yang meninggal, maka pada susungan akan dipasangkan sorban.
Begitu pula ketika yang meninggal adalah bundo kanduang, maka akan dipasangkan tingkuluak pada bagian susungan.
Sedangkan untuk masyarakat biasa, susungan hanya ditutupi kain biasa.
Wan melanjutkan, keranda yang digunakan untuk membawa mayat akan ditinggalkan di pusara, tepat disamping gundukan tanah kuburan dan dibiarkan lapuk.
"Jadi pembuatan keranda ini selalu dilakukan ketika ada yang meninggal. Satu orang satu juga kerandanya," tandasnya.(Tribunnews.com/TribunPadang.com/Nandito Putra)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Prosesi adat pemakaman unik di solok jenazah dibawa pakai keranda dari anyaman bambu