TRIBUNNEWS.COM, KONAWE UTARA – Aksar, Kepala Desa Boedingi menunjukkan sejumlah foto pemandangan desanya pada 2009.
Tempat itu belum banyak dihuni warga, dan masih berstatus dusun. Nampak dalam foto, kondisi Boedingi yang terlihat hijau permai.
Pohon-pohon di bukit belakang dusun masih lebat dan terlihat asri. Air laut masih biru segar sejauh mata memandang.
Rumah-rumah papan warga yang berdiri di atas air laut masih nampak alami. Penghuninya arga Suku Bajo, yang dikenal penguasa lautan.
Namun saat ini, di 2023, kondisi Boedingi sudah tak dingin seperti namanya. Jika panas maka akan begitu terik.
Lalu saat musim hujan, sedimen turun ke area pemukiman warga. Bahkan biasanya air laut menutupi timbunan jalan yang telah dibuat warga.
Dua pelabuhan jeti raksasa juga dibangun di samping kiri dan kanan desa. "Kita mau apa mi juga, yang punyanya (penguasa)," tutur Aksar pasrah kepada jurnalis Tribun Sultra Tribun Network.
Aksar juga sempat mengungkapkan dulunya, Desa Boedingi menjadi tempat beroperasinya budi daya mutiara.
Sebuah bangunan kecil budidaya mutiara yang ada di pulau seberang Desa Boedingi pun masih tersisa. Sebagai jejak pernah adanya ladang mutiara di tempat itu. Namun kini tinggal nama.
“Saya masih kecil juga dulu,” jelasnya mengingat masa itu. Desa Boedingi memiliki panjang kawasan 2,5 kilometer di pesisir pantai.
Kehidupan penduduknya berorientasi laut. Kini, kehidupan dan alam lingkungan Boedingi terbalik-balik.
La Mamma, seorang nelayan Boedingi kini lebih banyak di darat. Dulu, ia menghabiskan hari di lautan mencari ikan.
Baca juga: Terumbu Karang Desa Boedingi Konawe Utara Tertutup Lumpur Nikel Setebal Empat Meter
Saat subuh, ia akan keluar rumah, menyetir sampannya. Sang istri, Mewani setia menememani di atas perahu sambil berbincang.
Mungkin saja, cara Mewani dan La Mamma saling mengungkapkan kasih sayang dengan berjuang bersama.
Setelah siang, ia pulang membawa ikan sebanyak mungkin, kurang lebih 10 kilogram. Hasil tangkapannya ini akan diolah menjadi ikan asin.
Lalu dikumpulkan lagi ke pengepul dan dibeli dengan harga Rp 25 ribu per kilonya. Setiap hari diungkapkan La Mamma, ia bisa konsisten mendapatkan ikan 10 kilogram hingga 20 kilogram.
Seakan tak meragukan lagi rezeki Illahi, La Mamma tetap percaya diri untuk mengambil ikan di laut yang kala itu melimpah.
Namun, berjalannya waktu La Mamma memilih untuk berhenti saja menjadi nelayan. "Tidak ada mi juga ikan," katanya dalam logat setempat.
Perlahan hasil tangkapannya berkurang, yang dulunya melimpah ruah kini La Mamma sudah bersyukur jika mendapatkan lima ekor ikan.
"Itu hanya untuk di makan saja," tuturnya sambil tertawa getir.
Kepala Dusun II Desa Boedingi, Januda (59), berkeluh hal sama. Januda juga merasakan nasib yang sama.
Pria 56 tahun ini, mengungkapkan dulu mencari ikan adalah mata pencaharian utamanya.
Tak ada hari, tanpa pergi melaut dan mengambil ikan untuk dijual lalu disantap lezat oleh keluarganya.
Namun kini, ia berhenti melaut. Karena baginya, modal untuk menjadi nelayan lebih besar ketimbang hasil yang didapatkannya.
"Paling mahal itu bensin dibeli, apalagi kalau sudah keluar jauh dari sini (Desa Boedingi) pasti lebih mahal lagi dan banyak BBM dibeli," jelasnya saat ditemui jurnalis Tribun Sultra Tribun Network.
"Untung kalau pulang dapat banyak ikan, tapi sudah tidak seperti dulu mi lagi," jelasnya.
Lebih baik bagi Januda saat ini untuk tidak menggantungkan nafkahnya dengan menjadi nelayan. Secara tidak langsung, kini ia sudah kehilangan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan.
Meski demikian, sesekali untuk mencukupi biaya hidup, sejumlah warga yang menganggur akan menjadi buruh pasir.
Warga benar-benar kehilangan mata pencaharian akibat musnahnya ekosistem laut yang ada di perairan Teluk Lasolo, utamanya dekat dengan Desa Boedingi.
Hal ini diduga karena sedimentasi ore nikel yang jatuh ke laut, menyebabkan ikan kehilangan rumahnya dan pergi jauh dari Boedingi.
Seorang ibu yang enggan disebutkan namanya menuturkan keseharian di Desa Boedingi pada dasarnya sama seperti kehidupan manusia lainnya.
Hanya saja sebagai masyarakat Suku Bajo yang hidup bergantung pada laut, kondisi saat ini cukup bertolak belakang seperti awal dirinya menempati Desa Boedingi.
Bahkan untuk mengambil sendok besi yang jatuh ke laut dari sela-sela lantai rumah, rasanya saja sudah malas.
"Huh, sudah lumpur semua diinjak," tuturnya dengan dahi mengkerut.
Seorang perempuan di Desa Boedingi berjalan dengan memegang wadah merah muda yang berisikan ikan cekalang yang dibelinya dari nelayan kampung sebelah.
Ia tak mengenakan alas kaki. Berjalan menuju rumah tetangga.
Sosok wanita itu, memiliki suami yang bekerja di salah satu perusahaan tambang di Desa Boedingi.
Meski mendapatkan upah cukup menurutnya, namun tak menghapus kenangan indahnya Desa Boedingi yang dulu rimbun dengan pepohonan.
Ibu dua anak itu juga kesusahan saat harus membereskan rumah. Pasalnya, jika pada musim kemarau aktivitas pertambangan sedang padat-padatnya.
Debu-debu yang berasal dari sedimentasi nikel akan beterbangan masuk ke dalam rumahnya.
Menyelip di sela-sela pintu, jendela, hingga ventilasi udara. Lalu, sedimentasi itu akan menempel pada sederet perabot rumah, bahkan piring makan.
Kondisi ini setiap hari dihadapinya, terkecuali pada saat musim hujan, karena teras rumahnya akan dipenuhi jejak tanah merah.
Biasanya, ia akan menyiramnya terlebih dulu dengan air bersih di rumahnya.
Untuk persoalan air bersih, warga Desa Boedingi mendapatkan aksesnya.
Warga sudah membuat bak penampungan air jatuh yang dialirkan ke setiap rumah dengan menggunakan pipa plastik. Namun kondisi air ini tidak menentu kadang jernih juga keruh.(Tribunnews.com/TribunSultra/Desi Triana)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Harta karun yang hilang di desa boedingi kampung suku bajo sulawesi tenggara sejak tahun