TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli sejarah kuno Mataram dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof Dr Timbul Haryono dalam penelitiannya menyimpulkan, harta karun emas temuan Wonoboyo, Klaten merupakan benda- benda regalia, atau simbol kerajaan.
Meski belum ada bukti sahih, dari ciri fisik benda dan gaya seninya, harta karun emas itu berasal dari abad 9 atau awal abad 10 Masehi.
Pemiliknya tidak mungkin bangsawan biasa, pengrajin emas, apalagi rakyat biasa.
Periode itu dianggap masa keemasan dinasti Mataram di Jateng dan DIY. Terbentang sejak masa Rakai Warak Dyah Manara (803 M) hingga Dyah Balitung (898 M).
Di antara periode itu masa Rakai Pikatan (847 M-855 M) meninggalkan jejak istimewa di sekitar Prambanan.
Melongok dari dekat harta karun emas Wonoboyo di Museum Nasional, maka kita akan mendapati sajian luar biasa.
Hanya rasa takjub yang muncul melihat aneka perhiasan untuk manusia dan hewan, dan alat-alat upacara dari emas dipajang menyita hampir setengah ruangan.
Dari pintu masuk ruang koleksi emas di lantai empat, pengunjung akan menemui baliho besar berisi penjelasan ringkas temuan harta karun emas Wonoboyo.
Kekayaan nasional ini ditemukan 17 Oktober 1990 oleh para penggali pasir di Dusun Plosokuning, Wonoboyo, Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah.
Sebagian penemunya saat ini masih hidup dan tinggal di Desa Wonoboyo.
Baca juga: Proyek Tol Solo-Jogja Singkap Jejak Lama Harta Karun Emas Wonoboyo
Di etalase pertama yang tertutup kaca, dipamerkan bagian mahkota yang bermotif daun. Hiasan mahkota ini kerap terlihat di arca-arca dari masa klasik.
Hiasan mahkota ini diberi batu mulia jenis kecubung atau amethyst. Ada pula fragmen hiasan luar mahkota terdiri lima helai emas yang salah satunya dihiasi batu mulia.
Ukirannya sangat halus dengan ornamen sulur.
Masih di etalase yang sama, terdapat dua tutup kepala (sanggul rambut) beda ukuran, yang masing-masing bagian puncaknya berhias batu mulia bening.
Bentuk seperti usnisa dengan ikal rambut seperti gaya arca-arca Budha. Diduga kedua tutup sanggul ini digunakan laki-laki dan perempuan berdasar besar ukurannya.
Etalase berikutnya memamerkan sejumlah kalung emas sangat indah. Bentuknya ada bandul kacang koro pedang, ikan lele dan kerang.
Pada masing-masing bandul terdapat silinder berongga atau bandul yg sengaja dibuat berlubang untuk mengaitkan tali.
Tiap bandul terbuat dari dua lempengan emas tipis yang di dalamnya diisi tanah liat kualitas tinggi.
Namun ada juga kalung emas padat atau tanpa rongga. Di etalase yang sama ada bandul tali kasta.
Bandul emas ini merupakan penanda kasta seseorang. Biasa disampirkan di bahu atau diletakkan di dada dengan tali di kedua ujungnya.
Bandul kasta Wonoboyo ini bentuknya seperti kepompong, dengan ornamen suluran.
Ukurannya cukup besar sebagai bandul tali kasta. Raja dan kaum bangsawan tinggi umumnya menggunakan hiasan penanda kasta di tubuh mereka.
Nah, koleksi berikut ini yang terlihat sangat istimewa. Pendar warna emasnya sangat menyolok, berbeda dengan artefak emas lainnya.
Berkilauan di bawah pencahayaan lampu yang cukup baik di etalase khusus di tengah ruangan.
Inilah mangkuk emas Wonoboyo, sebuah wadah berlekuk enam dengan hiasan relief di semua sisinya.
Reliefnya serupa adegan Ramayana di Candi Prambanan dan Candi Penataran. Dibuat dalam teknik repousse dengan ketelitian tinggi.
Fungsi mangkuk lonjong emas ini diduga kuat sebagai wadah persembahan atau sesaji.
Dari gayanya, bentuk mangkuk ini diambil dari gaya mangkuk zaman dinasti Tang. Secara garis besar enam sisi mangkuk lonjong itu melukiskan adegan Dewi Sita digoda kijang emas.
Kemudian adegan Rama memburu kijang emas. Berikutnya adegan Rama memanah kijang yang kemudian menjelma jadi raksasa Marica.
Selanjutnya adegan Rahwana menculik Dewi Sita. Relief kelima, Rahwana membawa terbang Dewi Sita dengan kereta puspaka yang kemudian bertemu Jatayu
Relief keenam, melukiskan saat adegan Dewi Sita sudah di taman Istana Alengka, ditemani dayang-dayang. Semua bidang di luar enam relief ini dihiasai ukiran pepohonan, rumah, balai- balai.
"Ini memang salah satu koleksi paling menojol dari harta emas Wonoboyo. Kilau emasnya lebih berpendar daripada yang lain. Mungkin bahan emasnya berbeda," jelas Riri Damayanti, petugas Museum Nasional.
Gelang tangan indah ini dibuat dari lempengan emas yang ditempa, diisi tanah liat berkualitas tinggi kemudian ditutup lempengan perunggu yang dipatri.
Selanjutnya hiasan telinga terbuat dari lempengan emas tipis bentuk helai daun panjang dengan pangkal teratai mekar yang mungkin dipakai sebagai hiasan telinga (sumping).
Bentuk sumping ini di tradisi Jawa sampai sekarang masih dipakai untuk hiasan telinga raja, atau contoh sederhana dipakai hiasan telinga pengantin laki-laki.
Hiasan telinga ini ada tiga pasang, dua polos dan satu ditatah hiasan sulur daun. Berikutnya kelat bahu. Ada ada tiga pasang kelat bahu, dua besar satu kecil yg merupakan kelat bentuk antefiks (simbar).
Sepasang kelat berhias kepala Kala berahang bawah. yang dua lain hiasan floral dan sulur daun. Kelat bahu ini biasanya diikatkan di bahu/lengan atas pakai tali.
Semuanya berbahan lempengan emas yang dipahat. Hiasan ini masih biasa dipakai di busana pengantin Jawa.
Koleksi berikutnya anting-anting dengan banyak jenis dan bentuk. Ada anting-anting segitiga, bulat dihiasi batu mulia ungu, putih, merah.
Ada bentuk anting teratai (sepasang), cincin (3 pasang), cincin lapis untiran tiga (11 pasang berbagai ukuran)
Berikutnya koleksi hiasan pinggang (pending) yang biasa dipakai bangsawan tinggi. Dibuat dari lempengan emas dan dipahat dari dalam.
Ada tiga jenis dengan bentuk dua sama, satunya beda yaitu untaian lempeng jajaran genjang.
Dua hiasan pinggang dari lempengan berisi tanah dan ditutup lempengan perunggu dan dipatri. Ada kait tali di masing-masing ujungnya.
Hiasannya sulur dan bulatan besar dikelilingi empat bulatan kecil. Berikutnya koleksi yang takkalah menakjubkan selain mangkuk lonjong berelief, adalah hiasan dada berbentuk menyerupai sabit (crescent shape).
Ragam hiasnya motif floral dengan pahatan menyolok di tengah berupa motif Kala atau geometris.
Dibuat dari bahan lempengan emas lebar dilapisi lempengan perunggu tipis, dan dalamnya diisi tanah liat kualitas tinggi
Dilihat dari ukurannya yang cukup besar, hiasan dada ini dipakai orang dewasa.
Melihat kehalusan pahatan atau tempaannya, hiasan dada ini hanya mungkin dipakai bangsawan tingkat tinggi, bahkan hanya raja dan ratu saja yang layak mengenakannya.
Berikutnya juga dipajang hiasan hewan, yaitu sepasang kalung gajah atau kuda yang dipakai saat arak-arakan kerajaan.
Dua bentuknya mirip, yaitu motif pucuk daun dan yang satu bulat timbul mirip gong.
Juga ada perhiasan emas untuk hewan kecil, diduga merpati atau burung piaraan.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)