News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilihan Gubernur DKI

Harapan Penghuni Kolong Jembatan pada Gubernur

Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kebayoran Baru memilah surat suara di kantor Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Selasa (11/9/2012). Pemilahan dilakukan untuk melihat kesalahan yang ada pada surat suara. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM - Pesta demokrasi lima tahunan warga Jakarta telah tiba. Hari ini, sebanyak 6.996.951warga yang memiliki hak pilih, akan menentukan nasib ibu kota lima tahun ke depan. Berbagai harapan pun menjulang, seperti yang dirasakan Nasah (62), salah seorang warga yang selama ini tinggal di kolong jembatan.

"Ya berharap mah sudah pasti ada, buat hidup lebih layak, buat kita lebih sehat," ujarnya saat ditemui Kompas.com di sebuah warung sederhana miliknya di pinggir KBT (Kanal Banjir Timur), Rabu (19/9/2012) malam.

Harapan ibu delapan anak ini bukan sekadar harapan biasa. Sudah lima tahun terakhir, ia dan tiga keluarga lain bagaikan warga kelas dua karena tinggal beratap beton dan beralaskan tanah di kolong jembatan, Jl. Basuki Rahmat, sekitar 50 meter dari pintu masuk Perumahan Cipinang Indah, Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur.

Dalam Pemilukada tahun ini, mereka sedikit bernasib baik. Ia dan lima orang penghuni kolong jembatan itu mendapat hak pilih. Siapapun calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih seakan mendapat tanggung jawab besar, karena wajib mengangkat empat keluarga tersebut dari kusamnya kehidupan kolong jembatan.

"Masalah saya cuma  tempat tinggal. Siapa sih yang mau tinggal di kolong jembatan? Kalau kesehatan Alhamdulilah sehat, cuma bapak doang yang asam uratnya sering kambuh," lanjutnya.

Kondisi ekonomi Nasah memang mencekik. Bayangkan saja, uang hasil penjualan kopi semalam suntuk di pinggir KBT hanya cukup untuk membayar sekolah empat anaknya yang kecil. Sementara gaji Rp 800 ribu suaminya per bulan dari memungut sampah warga, habis untuk membuat dapurnya mengepul sehari-hari.

Belum lagi biaya air bersih dan listrik empat keluarga tersebut yang harus membayar ke salah seorang tetangganya sebesar Rp. 120 ribu per bulan. Satu-satunya keuntungan hidup di kolong jembatan adalah tidak dipungut biaya tinggal.

Kehidupan sehari-hari Nasah dan tiga keluarga lainnya kolong jembatan tersebut, merupakan salah sekelumit contoh susahnya hidup di ibukota. Pemilihan pemimpin, diharapkan mampu memberikan perubahan yang positif bagi warga Jakarta, terutama bagi orang-orang seperti Nasah. "Siapa pun pemimpinnya, saya pengen pindah," lanjutnya.

baca:

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini