TRIBUNNEWS.COM-JAKARTA--Dunia pendidikan dianggap masih kelas dua dalam setiap kebijakan pemerintah. Kebutuhan peserta anak didik, seakan harus mengalah dengan kebutuhan orang dewasa.
Hal ini disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sekaligus maraknya tawuran pelajar di DKI Jakarta akhir-akhir ini.
"Tampaknya, ada masalah yang tak coba diselesaikan benang merahnya. Terkesan ada pembiaran (tawuran SMAN 6 dan SMAN 70) karena sudah berlangsung selama 20 tahun," ujar Retno Listyarti, Sekjen FSGI, di kantor LBH Jakarta, Kamis (4/10/2012).
Melalui kajian FMGJ (forum musyawarah guru Jakarta), di bawah FSGI, mereka mengindikasikan beberapa masalah penyebab terjadinya kekerasan antar pelajar.
"Pertama, pendidikan tidak dialogis tapi searah. Peserta didik tidak terbiasa menggunakan mulutnya untuk berdialog, akhirnya tangan dan kaki yang digunakan untuk menyelesaikan masalah," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, kekerasan di sekolah muncul karena tidak adanya relasi seimbang antara guru dengan murid dan antara murid dan murid, serta guru dengan pimpinan sekolah. Kedua, sistem pendidikan juga dinilai tidak membuat peserta didik kritis.
"Jam belajar yang lama dan mata pelajaran yang banyak, ditambah berat pada materi membuat peserta didik tertekan dan stres sehingga mudah meletupkan emosi," tegas Retno.
Faktor lainnya, lanjut Retno, sekolah tidak mengajarkan keberagaman sehingga anak didik diajarkan monokultural.