News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Nestapa Pekerja Anak

INVESTIGASI: Bocah Tuntun Kedua Orangtua Tuna Netra Mengamen, Selalu Bersiasat Hindari Razia

Penulis: Agung Budi Santoso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bocah bernama Rozaq (paling depan) ini menuntun langkah kedua orangtuanya yang tuna netra yakni Iwan Ertanto (kiri) dan ibunya, Titik Wuryani serta si bungsu Ridwan, saat berangkat mengamen karaoke, Jumat (24/5/2013). Nestapa pekerja anak.

Laporan Wartawan Tribun, Agung Budi Santoso 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bocah SD ini nyaris kehilangan waktu bermain. Indahnya masa kecil cuma impian baginya.  Itu karena peran dia sebagai pencari nafkah keluarga sekaligus kakak yang bertugas mengasuh adik kecilnya.

Itu masih ditambah dengan tugas melindungi dan membimbing langkah kedua orangtua yang tuna netra saat bepergian kemana-mana, termasuk urusan mencari nafkah.

"Bapak, aku capek banget nih. Kapan kita pulang, masih lama nggak ngamennya?" tanya seorang bocah bernama Abdullah Rozaq, 9,5 tahun, di tengah hiruk-pikuk keramaian Pasar Kebayoran Lama Jakarta, Jumat (24/5/2013).

Iwan Ertanto, 34, sang ayah yang berjalan dengan dituntun di belakang si bocah berusaha menghibur.

"Sabar ya, Nak? Kita kan belum dapat rezeki yang cukup hari ini. Jadi harus sabar cari rezeki itu," kata Iwan, sembari mengelus kepala si bocah.

"Tapi aku capek banget, Bapak. Kakiku berasa pegel-pegel semua. Haus lagi," keluh bocah kelas empat Sekolah Dasar (SD) yang biasa dipanggil Rozaq itu.

Anak ini amat berharap dirinya mendapat kesempatan duduk-duduk, sekedar untuk rehat. Tapi permintaan itu tak dikabulkan sang ayah. Ia malah diminta terus melangkah dalam tugasnya sebagai penunjuk arah jalan.

"Nih, minumanmu. Sambil jalan aja minumnya, tapi jangan minta istirahat dulu ya, Nak," sahut sang ayah sembari mengeluarkan minuman berperisa buah kemasan gelas plastik dari dalam tas.

Rozaq langsung menyeruput minuman kemasan itu dengan sedotan kecil.  Dalam sekejap, minuman itu habis. Maklum, hari itu memang cuaca sungguh panas, ditambah dengan ramainya pasar membuat si bocah cepat lelah dan stres.

Tapi itulah 'tugas harian' bocah bernama lengkap Muhammad Abdullah Al Rozaq itu. Sepulang sekolah, ia bukannya bermain-main bola lazimnya anak-anak tetangga seusianya di kawasan Jombang, Tangerang Selatan, provinsi Banten.

Dalam kondisi lelah ia langsung mengantar kedua ayah dan ibunya yang tuna netra itu mengamen karaoke dari satu pasar tradisional satu ke pasar tradisional lain.

Ayahnya memanggul perangkat tape recorder berbentuk kotak untuk memutar kaset karaoke lagu-lagu pop lawas. Sang ibu, Titik Wuryani, 42, bertugas sebagai penyanyi.

Baik Iwan maupun Titik, sama-sama penyandang tuna netra (buta). Karena itu, langkah mereka mencari nafkah dengan cara mengamen karaoke amat tergantung dari peran Rozaq sebagai penuntun langkah dan penunjuk arah jalan.

Selain menyanyi, Titik juga menggendong Ridwan, 7 tahun, si bungsu yang juga adik kandung Rozaq. Sementara Rozaq sendiri berjalan paling depan.

Kondisi kedua orangtua yang tuna netra memaksa Rozaq berperan multifungsi.

Ia bertugas sebagai 'komandan langkah' bagi kedua orangtua saat menuju stasiun, membeli tiket, menaiki gerbong kereta, sampai akhirnya turun di stasiun tujuan hingga menyusuri lorong pasar-pasar tradisional untuk mengais rezeki.

Tak hanya sebagai penunjuk arah, ia juga harus aktif menyawer uang kepada para pengunjung pasar yang berseliweran di sekitarnya dengan cara menyorongkan bekas botol kemasan air mineral yang dibelah dua untuk tempat uang.

"Terima kasih, ibu. Terima kasih, Om," begitu ucapan Rozaq tiap kali ada orang yang menyodorkan lembaran-lembaran rupiah atau koin uang Rp 500-an.

Sementara sang ibu tiada lelah mendendangkan lagu-lagu pop lama yang barangkali tidak dikenal oleh anak-anak muda zaman sekarang. Titik sengaja membawakan lagu-lagu lama karena di mata dia, mayoritas yang memberikan sedekah adalah orang-orang tua seusia mereka yang selera lagunya sama.

Siang itu, sang ibu mengalunkan tembang "Tak Ingin Sendiri" yang tenar di era 1980-an lewat alunan biduan Dian Piesesha.

Setelah itu berganti lagu "Telepon Rindu" milik Nani Sugianto, disusul tembang sendu "Benci Tapi Rindu" ciptaan Obbie Messakh yang tenar lewat bibir penyanyi pop Ratih Purwasih.

Dalam kondisi lelah karena terus berjalan di lorong-lorong pasar, Rozaq juga membantu ngemong sang adik yang acapkali rewel, entah karena mengantuk atau lapar dan haus.

"Adik ngantuk atau haus, sih? Sini kakak gendong," sapa Rozaq. Tapi sang adik menggeleng-geleng kepala, memilih tetap berada di gendongan ibunya yang berjalan dengan sedikit tertatih-tatih lantaran menahan letih itu.

Siswa SD Jombang 3 Tangerang Selatan itu ekstra waspada menghindari jalan berlubang, jalanan becek atau kubangan air hujan yang dilalui.

"Bapak kepalanya pernah kepentok tiang listrik, gara-gara tangan bapak lepas dari bahuku, terus bingung arah jalannya," tutur Rozaq saat dibuntuti Tribunnews.com di sela mengamen.

"Namanya juga nggak bisa lihat, kalau nggak hati-hati ya bisa kepleset. Saya tempo hari meringis kesakitan, kaki terkilir saat jatuh di peron stasiun," sahut Titik Wuryani yang berjalan paling belakang.

Kejadian-kejadian sial yang menimpa bapak dan ibunya membuat Rozaq tidak boleh lelah, tidak boleh mengantuk, apalagi lengah dalam menuntun mereka mengamen karaoke.

Lepas dari tuntutan tangannya, risiko mengintai setiap saat. Itu karena sang ayah selalu memegangi bahu Rozaq saat kaki melangkah.

Demikian juga dengan sang ibu yang memegangi bahu suami di depannya. Sementara tangan satunya memegangi mike pengeras yang dia pakai untuk menyanyi sembari menggendong si bungsu, Ridwan.

Rozaq (kanan) menuntun langkah kedua orangtuanya yang tuna netra yakni Iwan Ertanto (kiri) dan ibunya, Titik Wuryani serta si bungsu Ridwan, saat berangkat untuk mengamen karaoke, Jumat (24/5/2013). (Tribunnews.com/ Agung Budi Santoso)

Tidak Boleh Capek, Kerja Terus!

Abdullah Rozaq adalah potret bocah yang nyaris kehilangan indahnya masa kecil karena 'dipaksa' ikut mencari nafkah bersama orangtua.

Ayah ibunya tidak hanya terjerat problem kemiskinan tapi juga keterbatasan fisik.

Instingnya untuk melindungi kedua orangtua terlihat saat menyusuri jalan berlubang, berduri, berkerikil, kubangan air hujan atau jalanan licin penuh risiko.

Bahaya juga mengintai saat menyeberang di tengah keramaian.

Sang ayah mengakui, ia bersama istri amat tergantung pada tuntunan Rozaq. Tanpa bimbingan Rozaq, dia dan istri bisa tersesat dan kebingungan di tengah hiruk-pikuk pasar atau stasiun.

"Yang sering jadi masalah, Rozaq itu dikit-dikit mengeluh capek, kakinya pegel-lah, badannya lemes-lah, atau laper-lah. Pada saat yang sama, saya dan istri sangat butuh dia," ujar Iwan, kepada Tribunnews.com.

Iwan tak bisa menyalahkan Rozaq. Ia sadar si bocah lazimnya bermain bola di Lapangan Sudimara, dekat rumah petak kontrakan, seperti dinikmati teman-teman sebayanya. Tapi jerat kemiskinan menuntut Rozaq harus tangguh dan tahan banting di usia dini.

"Kalau ngamennya males-malesan, dapet duitnya juga dikit. Nanti nggak bisa bayar kontrakan rumah dan buat beli beras," tutur Iwan.

Iwan bertutur, entah sudah berapa kali dia diusir-usir pemilik rumah kontrakan karena telat bayar uang sewa bulanan sebesar Rp 350 ribu (belum termasuk biaya rekening listrik dan air bersih).

Sementara pendapatan rata-rata Rp 40 ribu per hari dari mengamen karaoke cuma pas-pasan buat 'mengepulkan asap dapur.' Karena itu, buat membayar uang sewa rumah kontrakan, ia sering berhutang ke tetangga terdekat.

Ia sampai hilang urat malunya karena keseringan berhutang dan menunggak uang sewa. Rezekinya tambah susah ketika Rozaq jatuh sakit yang otomatis membuat dia dan istri stop mengamen.

"Kalau Rozaq sakit atau capek, ya kami pulangnya lebih cepet. Tapi dapetnya paling cuma Rp 25 ribu. Kalau tiap hari dapetnya segitu mana bisa buat makan dan bayar kontrakan?" tutur Iwan.

"Makanya, jujur saja, Rozaq ini jangan sampai sakit. Kami amat tergantung pada dia," sahut Titik, diamini Iwan yang mengangguk-angguk.

Rozaq (kiri) menuntun langkah kedua orangtuanya yang tuna netra yakni Iwan Ertanto (kiri) dan ibunya, Titik Wuryani serta si bungsu Ridwan, saat berangkat untuk mengamen karaoke, Jumat (24/5/2013). (Tribunnews.com/ Agung Budi Santoso)

Hindari Razia

Bagi kedua orangtuanya, Rozaq seolah juga menjadi 'radar' pemantau razia.

Tak seperti bulan-bulan sebelumnya yang cenderung bebas mengamen di stasiun kereta dan gerbong ke gerbong Kereta api, kini situasi makin sulit bagi mereka untuk mengamen lantaran peraturan baru dari manajemen PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).

Seperti diketahu, per 1 Mei 2013 aktifitas mengamen dan berdagang asongan di areal peron, apalagi gerbong kereta sudah dilarang oleh manajemen PT KAI.

Seiring dengan larangan itu, razia menjaring pengamen gencar dilakukan di tiap stasiun, mulai Stasiun Tanah Abang Jakarta Pusat sampai Stasiun Serpong, Tangerang Selatan.

Keluarga tuna netra ini termasuk obyek razia. Untuk menghindar, jurus 'kucing-kucingan' pun diterapkan.

"Pas nggak ada razia, bapak dan ibu saya tuntun mengamen di peron-peron stasiun. Begitu ada razia, ya aku gelendeng menghindar," cerita Rozaq.

Terusir dari stasiun, lorong-lorong Pasar Kebayoran Lama atau Pasar Sudimara jadi tujuan alternatif baru bagi mereka dalam mengais rezeki.

"Sekarang tambah susah saja cari duit. Pusing!" tutur Iwan. Mulai 1 Mei 2012, manajemen PT KAI memang menghentikan layanan KRL Ekonomi yang biasa jadi tempat favorit para pengamen dan pedagang asongan mencari nafkah.

Sementara untuk mengamen di Kereta Commuter Line yang full AC sudah sejak lama dilarang. Satu-satunya kereta kelas ekonomi yang masih beroperasi adalah kereta penumpang jarak jauh jurusan Rangkas Bitung - Tanah Abang.

Sayangnya kereta ini selalu penuh sesak penumpang, bau, semerbak asap rokok sehingga tak memungkinkan lagi bagi Iwan dan keluarganya mengamen.

Ia kini hanya menumpang kereta itu dari Stasiun Sudimara untuk kemudian turun di Stasiun Kebayoran dan langsung masuk pasar di belakangnya sebagai tujuan mengamen yang baru.

Bocah bernama Rozaq (paling depan) ini menuntun langkah kedua orangtuanya yang tuna netra yakni Iwan Ertanto (kiri) dan ibunya, Titik Wuryani serta si bungsu Ridwan, saat berangkat mengamen karaoke, Jumat (24/5/2013). Nestapa pekerja anak. (Tribunnews.com/ Agung Budi Santoso)

Si Bungsu Tidak Lebih Beruntung

Meski lebih sering digendong ibunya, tak berarti si bungsu, Ridwan, nasibnya lebih beruntung dibanding abangnya.

Muhammad Ridwan, nama lengkapnya, harusnya sudah masuk bangku SD di usianya yang sudah tujuh tahun. Lagi-lagi, persoalan ekonomi jadi kendalanya.

Loh, bukannya bersekolah di tingkat SD negeri bebas biaya?

"Bulanannya sih gratis, tapi biaya masuknya kan nggak gratis? Paling enggak Rp 500 ribu," tutur Iwan yang memutuskan menunda urusan pendidikan si bungsu.

Karena belum bersekolah, si kecil kemana-mana digendong sang ibu, termasuk saat mengamen. Titik Wuryani secara jujur bertutur, kelahiran Ridwan tujuh tahun silam sebenarnya amat tidak dia kehendaki.

Beban ekonomi membuatnya tak menghendaki tambah anak saat itu. Namun karena dia terlambat minum pil kontrasepsi, kehamilan Ridwan tak bisa dia cegah.

Karena itu, di awal-awal dirinya mengandung si bungsu, wanita berambut acak-acakan ini memutuskan 'menggugurkan kandungan' dengan cara-cara dia sendiri.

Antara lain dengan memperbanyak menenggak minuman bersoda, lalu sebanyak-banyaknya melahap buah nanas yang konon bikin rahim panas. Titik saat itu juga sering meloncat-loncat di siang bolong!

Tapi Tuhan berkehendak lain. Embrio Ridwan terus bertumbuh sampai akhirnya lahir. Kini, setelah si bocah berusia tujuh tahun, Titik dan suami diliputi perasaan bersalah karena pernah berusaha 'membunuh' si bungsu.

"Kami bersyukur dia nggak lahir cacat karena ibunya kebanyakan soda dan nanas pas hamil dia," tutur Titik yang menyandang tuna netra sejak lahir itu.

Pantauan Tribunnews.com, keluarga kecil ini tinggal di sebuah rumah petak di Jalan Raya Jombang, RT 1 Rw 4, Sudimara, Tangerang Selatan.

Persisnya di belakang gedung SD Negeri Jombang 3, atau 10 meter sebelah selatan Lapangan Sudimara.

Rumah mungil berukuran 3 kali 7 meter itu terkesan penuh sesak barang. Di bagian dapur tampak lemari es dan kompor mungil serta sebuah kursi plastik warna biru.

"Kulkas di dapur itu buat bikin es batu, dijual ke warung-warung, buat tambah-tambah belanja," tutur Titik. Rozaq pula yang ditugasi memasok es batu ke warung-warung, sekaligus berbelanja sayuran pesanan sang ibu.

Rozaq sendiri sebenarnya bukan anak pertama, tapi anak kedua. Ia masih punya kakak bernama Fazoli Billkhaq, 17.

Saat Rozaq masih bayi, peran menuntun orangtua mengamen di stasiun dan pasar dijalankan oleh Fazoli. Tapi kini si anak sulung itu dipulangkan ke Klaten, Jawa Tengah, kampung halaman sang ibu, karena beratnya biaya hidup di kota.

Fazoli dititipkan kerabat di Klaten dan bersekolah di sana. Jadi Rozaq kini mengambil peran sang kakak dalam membantu orangtua mencari nafkah.

"Ya, tiap bulan saya kirim uang buat sekolah Fazoli. Sekarang Rozaq yang jadi andalan," tutur Iwan.

Siang Mengamen, Malam Mengantuk Saat Harusnya Belajar

Akibat mengamen bersama orangtua di siang hari, Rozaq terkantuk-kantuk saat jam belajar di malam hari.

Jangankan belajar, Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan sang guru dari bangku kelas acapkali terlupakan. Titik Wuryani mengakui, prestasi anaknya di bangku kelas tak terlalu menonjol. Semua itu dia sadari sebagai risiko melibatkan anak mencari nafkah.

"Makanya, saya dan suami itu nggak pernah marah atau ngomel soal rapor dia. Yang penting naik kelas saja, alhamdulillah," kata Titik.

"Enggak kok! Raporku nggak jelek-jelek amat. Sedeng (lumayan)-lah," sahut Rozaq ketika nguping obrolan ayah dan ibunya dengan Tribunnews.com.

"Ooo iya, kamu memang juara kelas kok! Bapak percaya. Juara satu dari urutan bawah!" kelakar Iwan, disambut ledakan tawa Titik dan Ridwan.

"Biarin! Siapa suruh ngajak Rozaq ngamen terus? Gimana Rozaq nggak ngantuk pas belajar?" balas Rozaq dalam nada polos, khas bocah.

Mendengar jawaban sang anak, baik Titik maupun Iwan sama-sama speechless, terdiam sejenak, tak mampu membalas. Aura wajahnya tergambar rasa bersalah telah melibatkan anak dalam persoalan kemiskinan keluarga.

"Iya deeeh, ibu dan bapak yang salah," sang ibu menetralisir suasana.

Larangan Pekerja di Bawah Umur

Rozaq adalah satu dari 2,3 juta anak-anak Indonesia yang bekerja di bawah umur (7 - 14 tahun).

Mereka ini, menurut lembaga Understanding Children's Work atau UCW (mitra kerja UNICEF/United Nations International Children's Emergency Fund), kebanyakan masih bersekolah, namun waktu yang dihabiskan di dalam kelas jauh lebih pendek dibandingkan anak-anak yang tidak terbebani urusan mencari nafkah keluarga.

UCW menyebut anak-anak golongan ini tidak layak bekerja. Mereka tidak menikmati hak-hak dasar atas pendidikan yang layak, keselamatan fisik, perlindungan, kesempatan bermain, dan menikmati rekreasi.

Betapa kurang beruntungnya Rozaq dibanding kawan-kawan sebayanya dari keluarga yang tidak terjajah secara ekonomi.

Mempekerjakan anak seperti Rozaq yang masih berusia 9,5 tahun bertentangan dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ini juga pelanggaran Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja

Secara jelas, UU ini menyebutkan minimal usia pekerja anak adalah 14 tahun. Itu pun berlaku bagi negara-negara yang fasilitas pendidikan dan perekonomiannya terbelakang.

Bahkan UU ini juga menyebut usia minimum 18 tahun untuk mereka yang bekerja pada situasi yang berpotensi merugikan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Umur minimum terendah untuk pekerjaan paling ringan pun ditetapkan 13 tahun.

Apakah anak usia sekolah dibenarkan untuk bekerja oleh Undang-undang?

Pasal 68, 70 dan 71 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan, anak-anak  usia 13 – 15 tahun diizinkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Anak dengan usia minimum 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

Pendek kata, untuk pekerjaan paling ringan pun Rozaq tidak memenuhi syarat dari sisi usia.

Lantas, apa saja yang termasuk dalam kategori pekerjaan terburuk bagi pekerja anak?

Nah, bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut pasal 74 ayat 2 pada UU yang sama adalah:

1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.

2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak  untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian.

3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan  anak untuk produksi dan perdagangan minuman  keras, narkotika , psikotropika dan zat adiktif lainnya.

4. Dan, atau, semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

Untuk kasus Rozaq, tidak ada unsur pelanggaran dalam poin 1,2 dan 3. Tapi ia jelas terlibat dalam poin 4, khususnya pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak.

Keterlibatannya mengamen bersama orangtua di peron stasiun, gerbong kereta dan lorong-lorong pasar tradisional bersentuhan langsung dengan polusi udara, polusi suara dan risiko tinggi kecelakaan.

Rozaq juga bersentuhan dengan risiko moral seperti istilah termaktub dalam UU itu. Itu karena lingkungan pekerjaan Rozaq dikelilingi oleh kalangan preman, pencopet dan penodong.

Risiko dari unsur keselamatan mengintai Rozaq dan adiknya karena ia naik turun kereta, menyeberang keramaian jalan dan membelah kemacetan, sembari menuntun langkah kedua orangtua yang matanya buta.

Apalagi dalam UU yang sama disebutkan, yang dimaksud pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya untuk anak-anak adalah yang meliputi unsur:

- Pekerjaan yang mengandung bahaya fisik.

- Pekerjaan yang mengandung bahaya kimia.

- Pekerjaan yang mengandung bahaya biologis.

Dari sisi durasi jam kerja, pekerjaan yang dilakukan Rozaq juga tak layak buat anak-anak. Sebab Rozaq bekerja dari tengah hari hingga jelang petang.

Dalam kampanye pemberdayaan anak perempuan Plan Indonesia, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Usaha Kecil Menengah, Nina Tursina menyebutkan, pekerja anak tidak boleh melebihi tiga jam.

"Anak-anak boleh kerja, tetapi maksimal tiga jam, pekerjaannya tidak membahayakan, dan mereka tetap sekolah," ujar Nina, seperti dilansir Tribunnews.com, Kamis (11/10/2012).

Meski rumah kontrakan Rozaq dan keluarganya tidak jauh dari pusat kekuasaan negeri ini (Jakarta), Rozaq belum tersentuh gaung kebijakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang tidak membolehkan anak sekolah menyambi bekerja, apalagi jenis pekerjaannya berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan.

Seperti diketahui, Kemenakertrans sejak tahun 2008, mengklaim telah menarik 32.663 pekerja anak dari tempat bekerjanya kemudian dikembalikan ke satuan pendidikan atau sekolah.

Program ini akan terus berjalan. Pada tahun 2013 Kemnakertrans menargetkan penarikan sebanyak 11.000 pekerja anak yang tersebar di 21 Provinsi dan 89 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan mengerahkan 503 orang pendamping di 366 rumah singgah (shelter).

"Program penarikan pekerja anak ini dilaksanakan agar anak-anak Indonesia dapat mengembangkan kesempatan belajar di sekolah dan terbebaskan dari berbagai bentuk pekerjaan terburuk," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar seperti dilansir Antaranews.com, Kamis (23/5/2013).

Pertanyaannya, kalau memang program ini menyasar wilayah 21 provinsi dan 89 kabupaten/kota, harusnya anak-anak seperti Rozaq yang tinggalnya relatif tak jauh dari kantor Kemenakertrans ini sudah terbebas dari status pekerja anak. 

Bom Waktu Bocah Putus Sekolah

Rozaq tentu bukan satu-satunya potret pekerja anak dengan lingkungan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatannya.

Pantauan Tribunnews.com, makin banyak saja anak-anak, yang notabene generasi penerus masa depan negeri ini, memilih putus sekolah demi membantu mencari nafkah keluarga dengan bekerja serabutan.

Pemandangan ini bisa dibuktikan setiap hari di sepanjang gerbong Kereta Api Penumpang kelas ekonomi jurusan Tanah Abang - Rangkas Bitung.

Di dalam rangkaian gerbong kereta yang seringkali penuh sesak dengan penumpang dan aroma asap rokok yang menyengat, serta bau pesing dari toilet yang tak pernah tersedia air bersih tersebut, terdapat cukup banyak pekerja anak berstatus putus sekolah.

Mereka bekerja serabutan mulai dari tukang sapu, penyemir sepatu, mengamen, berjualan tahu Sumedang, berjualan air mineral hingga mengemis.

Mahdi, 9 tahun, misalnya, saban hari menempuh perjalanan jauh dari Stasiun Parung Panjang, Bogor, menuju Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat, untuk urusan menyemir sepatu.

Ia berangkat pagi buta, bahkan sebelum karyawan kantoran berangkat bekerja. Persisnya pukul 05.30 WIB.

Belum sempat menyantap sarapan, bocah ini menumpang Kereta penumpang kelas ekonomi dan mencari pelanggan di Stasiun Kebayoran, Stasiun Palmerah atau Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Biasa mandi keringat, menahan lapar dan haus, terpapar asap rokok dan polusi, bahkan mengalami kekerasan di jalanan, membuat Mahdi 'tahan banting.' Menawarkan jasa semir dari satu penumpang ke deretan penumpang yang tengah duduk di peron stasiun, Mahdi lebih banyak ditolak.

Kalaulah ada beberapa yang mau, lebih karena kasihan atau iba. Yang lainnya menolak karena terburu-buru mau pulang atau tak berminat.

"Yang mau biasanya itu-itu saja orangnya. Pelanggan, kasihan kali sama saya," celetuk Mahdi kepada Tribunnews.com, suatu hari di awal Mei 2013 lalu.

Mahdi mengaku hanya sempat mengecap pendidikan hingga kelas II Sekolah Dasar (SD). Sekolah biayanya memang gratis, tapi dia memilih drop out untuk menyemir sepatu dengan maksud membantu mencari uang belanja sang ibu.

"Dapat dikit-dikit bisa buat bantu ibu beli tempe dan sayuran," ujar bocah berkulit gelap itu.

Aji, penyemir sepatu lain, sedikit lebih beruntung karena tak sampai putus sekolah SD. Ia baru saja lulus SD tapi memutuskan tak meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Mending nyemir sepatu aja deh. Langsung dapat duit. Mau nerusin ke SMP, nggak enak sama orangtua. Lagi susah cari duit," tutur Aji, juga asal Parung Panjang seperti halnya Mahdi. 

Ada juga Asrori, dalam usia baru 10 tahun, cukup piawai memainkan gitar kecil, mengamen di dalam gerbong kereta, mendendangkan lagu-lagu milik ST12 atau Ariel NOAH. Asrori ini malah sama sekali tak pernah mengenyam bangku pendidikan.

Ia menggelandang dan mengamen di kereta tanpa pengawasan dari orangtua. Sepanjang seharian dia habiskan waktu di dalam gerbong kereta yang bolak-balik arah dari Tanah Abang ke Rangkas Bitung dan sebaliknya.

Kekerasan dan pelecehan sering dia rasakan di dunia keras itu, terutama bila dia dianggap sebagai 'ancaman' atau pesaing bagi pengamen-pengamen di level bocah lainnya. Apalagi Asrori ini memang tampak menonjol lantaran suaranya lumayan merdu dan permainan gitar kecilnya (ukulele) pas dengan vokalnya.

"Saya mah ngalah aja, nggak mau berantem. Capek," tuturnya, lirih.

Asep, bocah tukang semir yang cuma sempat bersekolah hingga kelas II SD, mengaku berangkat pagi buta pukul 05.00 dari Parung Bogor, dan baru kembali ke rumahnya menjelang magrib, juga demi pekerjaan menyemir sepatu.

"Kalau pas sepi sehari cuma dapat uang semir Rp 25 ribu. Kalau pas ramai, bisa dapat gocap (Rp 50 ribu). Lumayan, buat nyenengin ibu," ujarnya, polos.

Mahdi, Aji, Asrori dan Asep adalah potret nyata dari laporan berjudul "Memahami Pekerjaan yang Dilakukan oleh Anak dan Pekerja Muda: Kondisi Indonesia."

Menurut laporan yang diterbitkan Understanding Child's Work atau UCW (mitra kerja ILO, UNICEF dan Bank Dunia), anak-anak yang putus sekolah mayoritas karena terjun dalam dunia baru sebagai pekerja anak.

Alasannya sama, demi membantu mencari nafkah keluarga.

Persisnya, menurut laporan itu, dua pertiga anak-anak yang tidak bersekolah terjun ke dunia kerja.

Parahnya, anak-anak seperti dicontohkan di atas tidak mendapat jaminan sosial, bekerja di lingkungan buruk, serta durasi pekerjaan yang lebih tak manusiawi dibanding orang dewasa khususnya pekerja kantoran.

Mahdi dan kawan-kawannya berangkat 'kerja' pukul 05.00 pagi dan baru balik arah pada pukul 16.30 alias 11,5 jam dia habiskan seharian di lingkungan yang keras.

Coba bandingkan dengan pekerja kantoran yang bekerja di lingkungan nyaman (full AC dan bersih), berangkat dari rumah rata-rata pukul 07.30 dan balik ke rumah rata-rata pukul 15.30 WIB alias  'hanya' delapan jam kerja.

Anak-anak seperti ini membutuhkan sentuhan perhatian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Semoga peka!

(Agung Budi Santoso)

                                    *******

 

Regulasi yang Mengatur Pekerja Anak

1. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang ini mengatur berbagai hal menyangkut status pekerja anak mulai dari batas usia diperbolehkan kerja, siapa yang tergolong anak, sistem dan besaran pengupahan dan perlindungan untuk mereka di usia bocah.

2. Undang-undang No. 20 Tahun 1999

Ini UU Tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja

Umur minimum tidak boleh kurang dari 15 tahun. Negara-negara yang fasilitas perekonomian dan pendidikannya belum dikembangkan secara memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun untuk bekerja pada tahap permulaan.
   
Ditetapkan pula Umur minimum yang lebih tua yaitu 18 tahun, yakni untuk jenis pekerjaan yang berbahaya, berpotensi merusak kesehatan, keselamatan hingga moral anak-anak”.
   
Umur minimum yang lebih rendah untuk pekerjaan ringan ditetapkan pada umur 13 tahun.

3. Undang-Undang No. 1 tahun 2000

Ini Uu tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Undang-Undang secara tegas mengharamkan praktik perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon dan kerja paksa, termasuk pengerahan anak-anak atau secara paksa atau untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata dengan menerapkan undang-undang dan peraturan.

4. Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003

Disebutkan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Kriteria anak menurut UU ini adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.

Dengan kata lain, 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja.

5. Pasal 69, 70, dan 71, UU No 13 tahun 2003.

Mengatur soal boleh tidaknya anak sekolah menyambi bekerja. Di dalamnya disebutkan larangan anak sekolah menyambi bekerja, namun dengan pengecualian.

Yakni, anak usia 13 – 15 tahun diizinkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Selain itu, anak dengan usia minimum 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

6. Pasal 92 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003

Ini tentang sistem pengupahan untuk pekerja remaja.

Disebutkan, perusahaan diberikan hak sesuai Pasal 92 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

Karena itu, biasanya upah bagi golongan pekerja usia sangat muda ini berada di bawah pekerja dewasa pada umumnya.

7. Keputusan Menteri No: KEP. 235 /MEN/2003

Tentang kriteria pekerjaan berbahaya bagi anak.

A) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak ditetapkan dengan Keputusan Menteri No: KEP. 235 /MEN/2003, yaitu:

- Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, seperti pekerjaan pembuatan, perakitan / pemasangan, pengoperasian dan perbaikan: Mesin-mesin pesawat, Alat berat : traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin  pancang Instalasi: pipa bertekanan, listrik, pemadam kebakaran dan saluran listrik.
              
Peralatan lainnya : tanur, dapur peleburan, lift, pecancah, bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut dan sejenisnya.
       
- Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi :
               
Pekerjaan yang mengandung bahaya fisik
               
Pekerjaan yang mengandung bahaya kimia

Pekerjaan yang mengandung bahaya biologi

- Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu :
Konstruksi bangunan, jembatan, irigasi / jalan pada perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat.

Mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan 10 kg untuk anak perempuan.
               
- Dalam bangunan tempat kerja terkunci. Penangkapan ikan yang dilakukan dilepas pantai atau perairan laut dalam.
               
- Dilakukan didaerah terisolir dan terpencil. Di Kapal. Dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas.

- Dilakukan antara pukul 18.00 – 06.00

B) Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Moral Anak

Contohnya pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi
   
Juga, pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok.

(Berbagai Sumber/ Agung Budi Santoso)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini