Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Feryanto Hadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meskipun sudah hampir 10 tahun berjalan, angkutan massal andalan warga ibukota yakni Trans Jakarta terus dirundung persoalan.
Menurut Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik dan Transportasi, salah satu sebab mendasar adalah karena salah urus, baik saat dipegang oleh Dinas Perhubungan DKI maupun Badan Layanan Umum (BLU) Trans Jakarta.
"Dulu, sejak diresmikan pertama kali pada 15 Januari 2004 oleh Gubernur Sutiyoso, saya pernah bilang ke gubernur seandainya proyek ini salah urus, maka ke depannya akan hancur seperti yang terjadi pada PPD yang punah dan berhenti melayani warga Jakarta. Dan sekarang pun terlihat bagaimana buruknya sistem pengurusan Trans Jakarta," ujar Agus, Selasa(13/8/2013) malam.
Ditambahkan Agus, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam hal ini.
"Pertama, sejak pertama sistem tendernya adalah mencari angka yang murah. Ini yang menyebabkan perawatan armada maupun feeder bus tidak maksimal. Bisa kita saksikan banyak banyak armada di beberapa koridor dan halte-halte yang sudah rusak, namun belum juga diperbaiki," urainya.
Masalah kedua, lanjut Agus, adalah sterilisasi jalur busway belum berjalan secara maksimal. Dikatakannya, sampai saat ini masih banyak disaksikan jalur busway atau Trans Jakarta dilalui oleh kendaraan umum, sehingga menghambat perjalanan Trans Jakarta.
"Terkait masalah sterilisasi jalur, pemerintah DKI Jakarta juga harusnya menyediakan underpass atau fly over di perempatan-perempatan jalan. Ini untuk menjamin kelancaran dan ketetapan waktu perjalanan Trans Jakarta," kata Agus.
Kemudian, persoalan yang muncul adalah terbatasnya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG). Menurut Agus, saat ini, hanya ada sekitar lima SPBG di Jakarta, itu juga yang beroperasi hanya empat SPBG saja.
"Ini yang menjadi kendala besar, yang sering menyebabkan armada Trans Jakarta tidak maksimal dalam melayani masyarakat. Padahal, dulu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berjanji akan membangun 50 SPBG, sekarang realisasinya satupun belum ada. Jadi, bayangkan saja, empat SPBG harus dipaksa melayani lebih dari 500 armada Trans Jakarta," ungkapnya.
Saat ini Pemprov DKI Jakarta tengah gencar mendorong masyarakat pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke transportasi massal seperti Trans Jakarta. Agus kurang yakin upaya tersebut akan berhasil.
"Bagaimana ini bisa terjadi, sementara sarana dan prasarana belum memadai. Penumpang masih berdesak-desakan karena jumlah armada terbatas. Juga belum ada tempat parkir mobil di pinggiran kota, hanya ada dua di Ragunan dan Kalideres," kata Agus.
"Para pengguna kendaraan pribadi yang hendak beralih ke transportasi massal, sudah pasti mereka ingin mendapatkan kenyamanan yang sama atau mungkin lebih nyaman daripada naik mobil pribadi," tutup Agus.