TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengakuan IP sebagai pembunuh seorang pengamen di kolong jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, tak begitu saja dipercaya. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan, keterangan IP berbeda dengan hasil rekonstruksi.
Rikwanto menjelaskan, IP memberikan keterangan bahwa kasus pembunuhan tersebut terjadi pada pukul 23.45. Padahal, dari hasil rekonstruksi yang sudah dilakukan oleh polisi, peristiwa itu terjadi pada pukul 10.00.
"Keterangan IP sangat kontradiktif dengan penyidik yang sudah melakukan olah tempat kejadian perkara dan rekonstruksi kejadian," ujarnya di Mapolda Metro Jaya, Senin (21/10/2013).
Selain itu, IP menyebut salah satu temannya, BR, terluka di jarinya saat kejadian pembunuhan itu. Lalu, BR dibawa ke Rumah Sakit Aminah sekitar pukul 00.00 untuk diberikan pengobatan. Ketika berobat, mereka kekurangan uang untuk membayar biaya pengobatan BR, lalu mereka membayarkan dengan menggunakan sebuah telepon genggam.
"Ketika kami cek ke sana (RS Aminah), memang ada yang datang ke sana pada pukul 00.27 atas nama Khaerudin bin Hamjali, karena terluka bacokan di Kebayoran," kata Rikwanto.
Meski IP mengaku melakukan pembunuhan, dia tidak ditahan oleh polisi. Polisi tidak bisa menahan seseorang hanya berdasarkan pengakuan, dan belum adanya petunjuk dan bukti yang mengarah kepada IP.
"Kita sudah jelas melakukan rekonstruksi, kita tahu siapa yang terlibat, siapa yang menjadi eksekutor, dan siapa yang mempunyai senjata tajamnya," jelas Rikwanto.
Menurut keterangan, IP ditangkap setelah dijebak oleh keluarga AS (18). AS merupakan salah satu orang yang ditetapkan polisi sebagai tersangka dalam pembunuhan tersebut. Penjebakan IP diawali dari perkenalannya dengan seorang wanita berinisal I di situs jejaring sosial. I kemudian mengajak bertemu IP di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, Jumat (18/10/2013) malam.
Saat itulah keluarga AS meringkus IP dan membawanya ke Mapolda Metro Jaya. IP mengaku melakukan perbuatan tersebut karena janji CB dan BR memberinya bagian hasil penjualan sepeda motor Yamaha Mio Soul milik korban. IP pun menuruti dan mendapat bagian Rp 300.000 dari dua rekannya.
Pengadilan Negeri Jaksel menjatuhkan vonis bersalah kepada empat pengamen pada Selasa (1/10/2013). Keempat pengamen tersebut adalah FP dijatuhi 4 tahun hukuman penjara, BF dihukum 3 tahun, F dihukum 3,5 tahun, dan AP dikenakan hukuman 3 tahun penjara. Majelis hakim menilai mereka terbukti melakukan pidana sesuai dakwaan primer Pasal 338 jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Keluarga AS mengklaim, mereka yang ditangkap polisi merupakan korban salah tangkap. Enam pengamen yang ditangkap itu justru menolong korban yang sekarat. Tersangka juga memberikan minum dan makan kepada korban, sebelum melaporkan kejadian itu kepada seorang satpam. Satpam tersebut kemudian melapor ke polisi.