Tribunnews.com, Jakarta - Ade Sara Angelina Suroto (19), Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani dikenal sebagai teman satu SMA. Hubungan ketiganya yang diwarnai cinta, benci, cemburu dan berujung kematian menimbulkan tanda tanya. Ada masalah apa dengan mereka?
"Tentu ada suatu hal berat dari mereka bertiga, sampai terjadinya hal itu," kata psikolog asal Univeristas Indonesia Dini Cokro kepada Kompas.com, Sabtu (8/3/2014).
Menurutnya, masih banyak yang menjadi tanda tanya dari kasus tersebut. Misalnya, mengapa Assyifa mau terlibat merencanakan pembunuhan Ade Sara? Mengapa Ade Sara tidak mau bertemu mantan pacarnya, Hafitd. Dan mengapa Hafitd bisa sesadis itu merencanakan pembunuhan.
Menurutnya, ide rencana pembunuhan muncul karena mengadopsi dari lingkungan. Apa kegiatan sehari-hari yang dilakukan Hafitd dan Assyifa. Sebab, kata dia, jika persoalannya hanya cemburu, hal itu merupakan hal kecil jika harus diakhiri dengan cara membunuh. Terlebih, pembunuhan itu menggunakan alat seperti kejutan listrik.
Selain itu, lanjutnya, kata menyesal baru terucap setelah pelaku sudah berurusan dengan pihak berwajib. Hal itu, menurutnya, di luar jangkauan pribadi normal.
Meski begitu, Dini belum berani menyebut bahwa pelaku memiliki kepribadian seperti seorang psikopat. Sebab, dirinya tidak memeriksa langsung. Ia hanya menggambarkan, contoh psikopat seperti seorang koruptor, yang tega melihat orang di sampingnya menderita.
Meski demikian, ia memperkirakan ada masalah dalam kepribadian pelaku yang bersangkutan. Faktor kekerasan yang datang dari tayangan kekerasan di media juga bisa ada dalam kasus ini.
"Sehingga tidak kenal kasih sayang dan egoistis," ujar Dini.
Kriminolog Univeristas Indonesia, Bambang Widodo Umar menyatakan, dari sisi kriminolog kasus semacam ini merupakan kejahatan ekstrim di luar batas kewajaran. Pelaku bisa saja meniru faktor internal ataupun eksternal, dari lingkungan sekitarnya.
Ia mengutarakan hal senada, bahwa tayangan kekerasan bisa memicu perilaku meniru. Terkadang, mereka yang mengkonsumsi tayangan kekerasan, meski bersifat imajinasi, menurut Bambang bisa dianggap sebagai sesuatu yang benar.
"Kita sekarang itu hal demikian berkembang sebetulnya. Tinggal pertahanan diri dari anak dan besik dari keluarga. Kalau keluarga bisa mentransformasi nilai budi pekerti saya kira anak bisa bertahan," ujar Bambang.