News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penemuan Mayat di Jalan Tol

Tindakan Hafitd dan Assifa Pembuktian Jati Diri yang Kebablasan

Penulis: Bahri Kurniawan
Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tersangka Hafitd dan Assifa memilih menutup muka dan bungkam saat ditunjukkan kepada pekerja media di Polresta Bekasi Kota, Jumat (7/3/2014).

 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembunuhan berencana yang dilakukan Ahmad Imam Al Hafitd dan kekasihnya Assifa Rahmadani terhadap Ade Sara Angelina merupakan tindakan yang kejam. Peristiwa ini dinilai sebagai pembuktian jati diri remaja yang kebablasan.
 
Pemerhati Pendidikan Lela Susanty mengatakan, rentang usia 15-17 tahun adalah fase dimana remaja mencari jati diri. Pada rentang usia inilah remaja biasanya ingin melakukan pembuktian diri, biasa pada fase ini remaja masih sangat labih dan cenderung melakukan pembuktian diri dengan melalukan tindakan kekerasan.
 
“Sementara rentang usia 18-20 tahun adalah fase dimana remaja sudah menemukan jati diri, ini yang disebut dewasa. Pada rentang usia ini biasanya remaja sudah menemukan jati diri, dan lebih stabil secara emosi. Jadi jika Hafitd melakukan tindakan sekejam itu sesungguhnya ini merupakan kejadian yang sangat luar biasa, karena direntang usianya seharusnya sudah lebih stabil emosinya. Ini berarti ada pemicu lain yang menjadi penyebab,” ungkapnya.

Alumni Ohio State University Colombus, Amerika Serikat ini menambahkan  ada beberapa faktor lain yang menyebabkan remaja melakukan tindakan kekerasan, antara lain remaja sekarang suka berkelompok. Terkadang solidaritas dalam kelompok pembuktinya sering ditunjukkan dengan melakukan kekerasan.

“Anak muda , remaja sekarang kalau menyelesaikan persoalan dengan cara bicara baik-baik dianggap sebagai pengecut,” lanjut Lela.
 
Sementara Praktisi Pendidikan Hajrah Mahyuddin menambahkan, kekerasan remaja saat ini banyak juga disebabkan oleh tayangan televisi.

“Sekarang di televisi banyak sekali tontonan film-film yang berbau kekerasan. Kemudian ditambah lagi kurangnya bekal pendidikan dan kurangnya ajaran agama menjadi pendorong remaja untuk melakukan kekerasan,” ujarnya.

Hajrah menambahkan, selain ketiga faktor tadi ada faktor terpenting yang bisa menciptakan anak senang atau bisa melakukan tindakan kekerasan, yaitu lingkungan dan pergaulan.

Jika remaja dididik dalam pergaulan yang baik, ada pengawasan dari orang tua, sudah pasti anak itu akan menjadi baik. Tapi jika dalam lingkungan dan pergaulan yang ada justru contoh negatif, maka anak itu pasti akan menjadi tidak baik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini