TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan satu-satunya cara untuk mengelola air bersih dengan baik adalah dengan membeli saham operator air swasta.
Pasalnya, dua operator swasta, Aetra dan Palyja tidak juga bisa menekan tingkat kebocoran air, atau Non Revenue Water (NRW). Sepanjang 2013, kata Basuki, tingkat NRW mencapai 41,8 persen. Artinya, hampir separuh air yang diproduksi, bocor dan dicuri.
"Operator lebih milih bayar denda, daripada membetulkan pipa yang bocor. Itu yang saya bilang kontrak di DKI ini kan lucu-lucu," ujar pria yang biasa disapa Ahok ini, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (24/3/2014).
Ia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa memberikan denda besar karena terbelenggu dengan kontrak lama.
Dalam perjanjian lama yang ditandatangani pada Juni 1997, dua mitra swasta hanya membayar denda Rp 80 juta per satu persen dari selisih target yang ditetapkan. Misalnya PAM Jaya menargetkan NRW hanya 30 persen, namun kenyataannya NRW 40 persen. Maka Aetra maupun Palyja hanya membayar Rp 800 juta untuk denda NRW 10 persen.
Kecilnya denda tersebut tidak memicu para mitra swasta ini memperbaiki pipa yang bocor dan rusak namun memilih membayar denda. Pasalnya membangun dan memperbaiki pipa berbiaya lebih besar dibanding denda.
Padahal berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 47 tahun 1999 mengenai batas maksimal kebocoran air bersih untuk PAM, NRW maksimal sebesar 20 persen.
"Makanya paling baik b to b (bussines to bussines), BUMD kita PT Jakpro beli saja saham mereka, kalau masih kontrak lama, kita susah, bisa-bisa mereka tuntut, kan repot juga," ujarnya.
Menurut Ahok, buruknya pelayanan kedua operator swasta ini memaksa Pemprov DKI menugaskan PAM Jaya untuk langsung untuk menangani pelayanan. Pada beberapa daerah yang tidak dapat dilayani Palyja dan Aetra, PAM Jaya terpaksa melakukan langkah-langkah.
Antara lain untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), berupa instalasi pengolahan air (IPA) mobile di Rumah Susun Pluit, bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). (Ahmad Sabran)