TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pengambilalihan saham milik PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja) oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro) terus bergulir. Setelah berhasil diakuisisi, rebalancing kontrak akan langsung dilakukan karena selama ini kontrak yang ada dianggap merugikan negara.
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo, Budi Karya Sumadi, berjanji setelah akuisisi Palyja berhasil akan langsung dilakukan rebalancing kontrak. Saat ini semua proses pengambilalihan saham masih terus berlanjut.
"Setelah kami akuisisi, kami segera lakukan rebalancing dengan PAM Jaya. Saya juga sudah bertanya kepada Dirut PAM terkait dengan isi kontrak," kata Budi di Gedung Joeang Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2014).
Ditegaskan Budi, tujuan utama pengambilalihan Palyja bukan masalah uang. Sehingga masyarakat diminta tidak perlu khawatir karena memang tujuan utamanya adalah mengembalikan pengelolaan air kepada pemerintah. Kendati demikian, masyarakat diminta bersabar karena semua prosesnya sedang berjalan.
"Jakpro masuk ke Palyja bukan untuk uang. Akuisisi ini tertunda karena belum ada kata sepakat. Pembangunan Jaya dan Jakpro mencoba memperhatikan tujuan penggugat adalah hak atas air. Artinya kita akan lakukan evaluasi agar masyarakat penghasilan rendah dapat hak atas air. Itu konsen kami," tuturnya.
Menurut Budi, pihaknya telah diberi mandat oleh Gubernur DKI Jakarta Jokowi untuk mengambil alih Palyja dengan cara Business to Business (B to B). Cara tersebut dianggap cukup elegan untuk mengambil alih saham dengan tidak menyalahi kontrak yang telah disepakati sejak tahun 1997.
Namun tetap harus ada serangkaian proses yang harus di jalani. "Jadi cara B to B itu cara elegan. Di pengadilan sudah bergulir. Tapi kita bisa dengan cerdas untuk selesaikan masalah. Mandat Pak Jokowi kepada kami untuk B to B. Karena risiko finansialnya rendah," ujarnya.
Sedangkan Direktur PAM Jaya, Sri Kaderi mengakui telah dilakukan beberapa kali rebalancing kontrak dengan dua operator penyedia air bersih di Jakarta yakni Aetra dan Palyja. Namun pada rebalancing terakhir yang dilakukan pada 2009-2010 lalu, tidak ditemui titik temu dengan Palyja. Hanya Aetra yang setuju dengan rebalancing yang dilakukan.
"Dengan Aetra sudah ada kata sepakat, tapi dengan Palyja tidak ada titik temu. Perubahan yang ada tidak diakomodir oleh Palyja. Tapi pemilik Palyja malah ingin jual sahamnya ke Manila Water. Tapi kami menolak adanya penjualan. Dengan ditolak, Pemprov menugaskan Jakpro dan Pembangunan Jaya untuk membeli dan sekarang sudah ketemu," paparnya.
Ia menambahkan, pihaknya sangat mendukung langkah pembelian Palyja oleh PT Jakpro. Karena jika harus membatalkan kontrak cost yang dikeluarkan akan lebih besar yakni mencapai lebih dari Rp 3,6 triliun. Sementara jika dengan pembelian saham anggaran yang dibutuhkan hanya kurang dari Rp 1 triliun.